Wednesday 1 April 2015

Dua, tiga jam aku berpaling dari nanar mata yang sejak kemarin menerka isi hati perempuan dihadapannya. menggigit bibir, mengepal tangan, mencubit pipi, menahan tiap tetes air yang memaksa keluar dari mata. mencari cinta yang entah telah mati atau tertutup luka. kemudian aku diam sendirian di pojok ruangan kosong yang amat dingin, menyuruh hatiku merasakan apakah masih ada sedikit rasa hangat di dalamnya. belum merasa cukup. aku keluar lalu menapak di lorong gedung tua yang sepi. telingaku bisa dengar setiap gaung langkah sepatu putihku yang meninggalkan jejak kaki transparan diatas lantai yang juga berwarna putih, meski warnanya sudah terlihat tua dan kusam. aku berhenti di tengah lorong, mengerenyitkan dahi dan sedikit menunduk. mendekatkan telingaku ke arah dada. mencoba mendengar apakah hati ini masih meneriakan nama yang telah mengisinya selama hampir seribu hari. Semuanya masih belum cukup sampai akhirnya aku beranikan instingku mencari aromanya, aku paksa mataku berputar mencari matanya, dan hatiku akhirnya menjawab ketika aku melihat langkahnya semakin menjauh dan berkata melalui senyum tipis, lalu ia pergi.

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...