Wednesday 5 August 2015

Demi Hadiah Kecil dari Nenek dan Kakek

Disaat aku setengah hidup berjalan tanpa kamu lagi, ketika aku terlalu butuh kamu dan harus berfikir bahwa cinta sudah bukan untuk digenggam. aku jatuh bangun mencari tangan yang biasa menuntunku setiap kita berjalan. tapi kini hatiku seolah terbalik sewaktu kamu kembali meminta keberadaanku tetap terlihat, walaupun meja putih itu telah rusak digores. sunguh demi hadiah kecil dari nenek dan kakek diumur kita yang pertama, aku takut cinta ini benar benar akan memudar.

Lembayung

Hujan sore itu akhirnya berhenti. Air hujan mengalir membawa sebagian luka yang masih berdarah. Lalu sisanya membekas.

Langit gelap semakin pudar dan menguning. cahaya memanjang menembus kaca jendela yang basah bekas air hujan, memantul tepat diatas foto kita. Aku harus bagaimana? 
Detik kini berjalan lebih lambat lagi. Hatiku mulai gelisah. Layaknya orang yang sedang merindu. Satu hari rasa satu tahun. 

Pelan - pelan mataku mulai terpejam. Aku lakukan seperti apa yang diperintahkan tubuhku. Satu dua detik berbaris hingga lima belas menit lamanya. Lagi - lagi aku tersentak. Detak jantungku bekerja begitu cepat. Tanganku gemetar lalu aku menangis. Hanya menangis di dalam dekapanmu. Dan tersadar bahwa Kamu adalah mimpi. 

Lembayung perlahan memudar, lalu langit berubah menjadi muda. 

Biru. 
Matahari berbaur menjadi keunguan. 

Aku turun dari tempat tidurku. Keluar dari hangatnya Persembunyian di dalam selimut. Melangkah dan membuka jendela. Wangi air yang sejuk masuk di sela - sela rambut dan telingaku. Aku lihat bias cahaya mewarnai titik titik udara yang tidak bisa aku sentuh. Sesuatu yang sejak lama aku tunggu dan Tuhan memberikannya. Begitu lama aku melihatnya seperti melihat kita, tidakkah kamu juga merindukannya? Merindukan kita. 

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...