Saturday 28 May 2016

Musim Hujan - 1

Sudah setengah jam Dira berdiri di balik pohon jati yang menua. Payungnya yang polos keabuan cukup besar untuk menutupi tubuh Dira, namun ujung rambutnya yang tergerai lama-lama merembes terkena tampias hujan.
titik pandang Dira jatuh pada selembar daun kering yang masih menggantung di pohonnya, tapi fokus Dira tetap pada laki-laki yang terlihat di ujung matanya.
Dira memandangi Rai amat lekat. kulit kayu yang tercacah akibat pukulan dari tangan Rai menempel di wajahnya yang basah, sebagian juga memenuhi tangan  Rai dan sisanya jatuh ke tanah. Punggung jari Rai terus menerus mengeluarkan darah, yang tidak lama langsung terhapus oleh hujan.
Rai menarik nafas dalam-dalam, di saat yang sama akhirnya kejadian di hadapannya itu menjatuhkan air dari mata Dira. Rai berteriak sekeras kerasnya, menyisakan ucapan tidak bersuara di ujungnya. "Sialan!!!"

Mendengarnya, Dira mundur selangkah. kakinya gemetar. Tangannya sibuk mengenggam tangkai payung dengan sangat erat, takut-takut akan jatuh karena tenaganya melemah. titik pandang kini pindah ke arah Rai seutuhnya. dalam hati Dira membulatkan tekad untuk lari saja. tapi di bagian hatinya yg kecil, di ujung paling dasar, kecemasan menggelut. mematahkan tekad yang belum seberapa besar. 

Dalam ketidaksadaran, keputusan berlawanan dengan logika. Seketika Dira melangkah maju dan kemudian berlari. menghapus jaraknya dengan Rai, menempatkan dirinya di samping laki-laki itu.
Rai yang tidak kaget meskipun ia tidak tahu bahwa Dira akan datang, hanya melirik sedikit lalu berbalik membelakangi pohon yang habis ia pukuli. Dira begitu terenyuh melihat mata Rai memunculkan garis garis halus memerah, yang akhirnya menyadarkan Dira bahwa laki-laki juga punya air mata untuk dikeluarkan. meskipun air hujan membawa gengsinya yang besar mengalir ke tanah.

Dari tas kecil yang terselempang di punggungnya, Dira mengeluarkan handuk kuning muda seukuran sapu tangan. Dira hanya menggenggamnya di depan dada, menimbang apakah sebaiknya diberikan kepada Rai, atau dimasukkan lagi ke dalam tas.
Selang beberapa detik akhirnya Dira melangkah, mendekat ke arah Rai yang sempat menjauh. menjangkau tubuh Rai agar tertutup payung. Rai menoleh. Mata mereka bertemu. Nanar mata penuh kepiluan samar oleh air yang perlahan lahan keluar. Dira menggapai wajah itu dengan handuk kecilnya, menyingkirkan serpihan kulit kayu yang menempel di kelopak mata Rai. Menegaskan lagi dengan matanya, bahwa yang ia lihat itu benar benar sebuah air mata.
Rai meraih tangan Dira. Rasa yang begitu dingin menjalar dari ujung ujung jari Rai. Darah yang masih keluar meninggalkan bercak yang masih basah dipunggung tangan Rai.

#bersambung

Friday 27 May 2016

Cinta Satu Raga

Aku hanya perlu memandangimu dalam sekejap.
karena cinta mati hukumnya jelas, rebut atau pergi.
aku beku di antara keduanya.
merebut tidak berarti aku bisa memiliki, maka aku tidak pilih untuk pergi, karena pergi jauh pun aku akan sekarat.
maka aku berdiri di antara keduanya.
memandangimu sekejap-kejap.
karena cinta sejati hukumnya pasti, aku mencinta, bukan kamu yang sengsara.
jadi begini sudah takarannya. hanya sekejap bahagia, meski sekejap sakit.
begitu juga sudah hampir sekarat, tapi hatiku bukan apa apa tanpa kamu. jadi begini sudah takarannya, karena cinta dan sakit juga sama saja.

Monday 23 May 2016

Zaman "Dulu" vs Zaman Sekarang

halo. gue abis nyuci baju baju sekeluarga yang dipake selama seminggu. kenapa baru nyuci sabtu? soalnya kalo weekdays ga sempet. pergi pagi pulang sore terus udah mager duluan. ketiduran. bangun bangun udah pagi lagi. sabtu pagi mulai jam 9, selesai jam 3 sore. ITU KLOTER PERTAMA. kloter keduanya lanjut lagi hari minggu di jam yang sama. ko ada dua kloter segala? iya. soalnya jemurannya ga muat.
Gue sekeluarga terdiri dari 4 orang, Bokap, Nyokap, Ade, sama Gue.
yang mau dibahas adalah, nyuci baju 4 orang aja lelahnya tiada tara. padahal udah pake mesin cuci. terus tiba tiba kebayang sama ORANG "DULU" yang rajin bikin anak, yang anaknya bisa dipake maen ULER NAGA PANJANGNYA baris kebelakang dari pintu depan sampe pintu belakang rumah terus muter lagi kehalaman dan ga pake mesin cuci.
hem sekian.
mau lanjut bayangin aja ga sanggup, apalagi jabarin.

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...