Tuesday 28 June 2016

Lampu Temaram

Malam yang hujan begitu dingin untuk terlelap. Pijar lampu yang temaram menuntunku berfikir tentang  kamu. Satu-satu kerinduan mulai menyentuh, sampai akhirnya menyeluruh.

Aku dikembalikan pada ingatan usang penuh debu. Ketika kecupan sedektik penuh cinta, terasa begitu hangat meski terhalang rambut di atas pelipis. Perasaan hangat yang berlari mengikuti darah hingga ujung jari.

Kemudian aku pergi ke lembar setelahnya. Dimana semua perempuan menuntut bukti untuk cinta, aku malah bahagia ketika kamu hanya mengucapkannya.

Rindu berdesir semakin kuat, mengubah memori indah menjadi kesakitan. Bulir-bulir air mata kian deras, muncul rasa yang tidak jelas di antara kerongkongan dan tenggorokan.

Malam hujan semakin padu dengan suara petir sesekali. Pijar lampu yang temaram mengisi warna redup dalam pandanganku. Hormon rindu semakin pekat.

Lembar demi lembar kenangan menipiskan ketahananku. Air mata mengundang kantuk, namun mataku tidak lepas dari jaketmu yang tersanggah dipunggung bangku kayu tua di kamarku. Aroma tubuhmu yang menempel ikut masuk bersama udara dingin yang aku hirup, membuat aku semakin menggila.

Rindu telah melewati batas wajar. Lubang kecil di dada kini semakin membesar. Rasanya kamu hilang terlalu lama.

Friday 24 June 2016

Angin Selatan

Aku diburu angin dari selatan. lalu lari seperti rumput dalam cermin.
terbalik.
Tinggal ilalang tumbuh dari atas. ilalang setengah layu sesuai takdir.
kemudian angin mencarinya hingga ke tanah. padahal langit awal mula semuanya.

lelah sembunyi. lalu aku ceritakan kepadanya, kisah di dalam bingkai kepiluan. dan akhirnya harapan melambung tinggi hingga ke awan.
aku berlari ke utara. bersandar di atas potongan-potongan kebahagiaan, tiba tiba dihantam angin yang baru sampai. bagai serpihan puzzle semuanya berantakan. aku gapai ilalang yang menggantung, lalu ia mengering dan patah.

Tuesday 21 June 2016

Musim hujan - 2

"Maaf Ra," Air hujan masuk di sela-sela ucapan Rai yang bergetar. Dira hanya diam. matanya begitu sendu.
Pelan-pelan Rai mengatur nafasnya, mencari ketenangan supaya bisa bicara banyak. Dadanya menggembung jauh, sampai akhirnya Rai membuang nafasnya dan memejamkan mata. Detik berdetak lima kali. Rai membuka matanya, menatap Dira yang masih dalam genggamannya.
"Ra, ibu mau ketemu Kamu," Dira terhenyak, pupil matanya mengecil. Memori Dira kembali ke rumah Rai lima tahun lalu. Sebagian dalam dirinya mencoba berfikir positif. tapi kenangan bertahun-tahun yang lalu menggoyahkan hatinya, mengikis kebahagiannya sedikit demi sedikit.
Dengan sangat sadar melihat dira memucat, Rai menarik pundak Dira agar mendekat hingga di antara mereka tersisa masing-masing selapis kaus basah. Pelan-pelan Dira memejamkan mata. Kepalanya tidak melewati leher Rai, dengan begitu ia telah bersandar di tempat yang paling nyaman menurutnya.
Hujan sisa rintik-rintik. Rai melihat jelas kegundahan hati Dira. Kegundahan yang lebih menyiksa dirinya, seolah takdir meletakkan jarum melintang di tenggorokkan Rai dengan kedua ujung yang tajam. "Sebentar aja, Ra"
Dira tidak menjawab, hanya sedikit anggukan yang terasa di dada Rai. meskipun anggukkan itu sedikit, dalam arti sebenarnya. Tanpa sadar Rai menghela napas, terlihat ada kelegaan yang lepas.
#bersambung

Monday 20 June 2016

Dear Future Wife

debar jantung yang amat cepat tidak dapat mengungkapkan betapa lama aku menunggu untuk jatuh, karena tuhan tidak pernah menyediakan arti kata dari cinta.
yang aku tau, cinta sebiru air. semakin dalam semakin hilang riak.
yang aku tau, cinta setinggi langit. dan aku hias gelapnya dengan bintang seperti kamu. bercahaya.
yang aku tau, cinta begitu berat. tahukah kamu aku akan membawanya kemanapun kaki ini melangkah?
aku jatuh-cinta pelan pelan. belajar arti air. berlatih melukis bintang. mencoba menjadi kuat.
dan pada saatnya tubuhku terasa lengkap dengan 12 pasang tulang rusuk, aku akan selalu tau bahwa itulah kamu.

Thursday 16 June 2016

a ba ng

aku kirim surat ini untuk diriku. untuk rindu yang melambung begitu tinggi. kepada raga yang tidak pernah ku peluk. jiwa yang kuhidupkan di dalam hati.
aku sampaikan cinta yang amat indah untuk dirangkai. untuk diucap. untuk sebelah jiwaku yang terbagi menjadi dua.
betapa rindu ini hanya aku rasakan seorang diri. tidak dibalas. mengakar besar tanpa terbendung lagi.

Sunday 12 June 2016

sayup payung teduh gerimis menggelap suara jauh gemetar petir bagai angsa ekor duduk putih titik kaki berhenti hasrat abu abu kecil dari sini terbang titik sepi berjalan luka liku betina melayang besar hidup tenggelam

Sembunyi

pada akhirnya jatuh. cinta setinggi langit, dipadu rindu yang menjutai. kalau bukan aku, aku yang lain. di samping tembok yang menjulang, di balik dinding yang dingin. aku bukan aku, sembunyi di kolong langit luas. kosong. kopong. menciut bagai kapas terbakar.
cinta teramat besar. luka yang tidak akan pulih. mimpi terhempas. kaki terlepas. dan aku berlari, pergi sembunyi di balik rumput kering warna cokelat. dan aku sendiri, sembunyi di bawah atap ilalang tua yang menguning.

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...