Thursday 22 December 2011

Pena Untuk Menangis


Entah mau mulai ini dari mana, aku rindu sekali bercerita lewat pena. Mentransfer seluruh kepenatanku di kehidupan nyata. Seharian full aku berkutat tanpa gerakan yang berarti di depan sebuah novel, karangan Dewi Lestari, “Perahu Kertas”, hari ini tanggal 21 Desember 2011, ingin sekali rasanya bilang, “Mbak Dee, bantu aku menulis”. yang membuat aku tak henti hentinya kagum adalah caranya menggambarkan karakter yang mungkin hanya ada dalam khayalannya, seorang wanita gila dengan segala ketololannya yang sangat percaya diri. Sebenarnya bukan soal itu, aku melihat makna yang tersirat. Yang ternyata ini terjadi di kehidupan seorang dhesna cindra bhumi. Menulis, melukis, beracting mungkin, itu duniaku. Mama benar, entah mereka akan membawa aku kemana kalau saja aku memilih mereka sebagai jalanku. Jalan untuk sukses. Tapi dewi lestari mengajarkan aku sesuatu yang lain, yang mungkin akan  terasa sangat pahit. Tapi inilah kenyataannya, aku harus menjalani apa yang bukan menjadi keinginanku untuk mendapatkan keinginanku itu sendiri. Kalimatnya mungkin sedikit sulit dicerna, tapi mbak dee,  aku mengerti. aku tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya aku pilih untuk jangka waktu yang pendek ini. 6 bulan mbak, dan aku sudah harus menentukan pilihan sekarang. Dan meskipun pada kenyataannya aku sudah memilih, tapi kenyataan itu pula yang menyadarkan aku bahwa ini begitu terasa sesak, bahkan mungkin perih. Aku tidak pernah menyesal atas apa yang sudah aku putuskan, aku Cuma ingin bercerita. Melalui pena penaku yang mungkin saat ini mereka juga ikut menangis. Aku Cuma butuh ada yang mendengarkan aku tanpa harus berkomentar apapun. Karena aku terlalu takut untuk mendengar apa pendapat mereka semua tentang pilihanku, pendapat yang tidak akan pernah sama dari mulut ke mulut.
Aku hanya ingin ada yang merangkul pundakku, seraya ia berkata “gak apa apa, pasti bisa”, atau “apapun hasilnya, itu yang terbaik mennurut allah”. Tapi lagi lagi kenyataan berkata lain, mereka sibuk dengan obsesi mereka masing masing. aku iri, sangan amat iri, bukan karena mereka didukung oleh banyak orang dan aku tidak. Aku iri karena mereka tau seberapa kuat keinginan mereka sedangkan aku tidak. Satu satu nya yang bisa buat aku tetap berkutat tak bergerak hanyalah wanita itu, yang makin lama wajahnya semakin sayu meskipun tidak ada yang bisa menandingi kecantikannya didunia ini, setidaknya untukku. tapi seberapa cantikpun, ia tetap tidak bisa bersandiwara menutupi kelelahannya. Dan rambut yang perlahan memutih, menusuk tajam leherku. Rasanya tidak rela waktu begitu serakah mengambil sisa hidupnya dengan kerapuhan yang perlahan datang. Mama…
Mungkin saat ini aku hanya butuh menangis, itu saja…

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...