Sunday 14 June 2020

Bertemu

Cara kita bertemu sudah kuterka sejak ribuan hari yang lalu. Hari ini tiba waktunya  namun tidak satupun khayalanku berjalan menjadi latar. Tidak untukmu tidak padaku, cinta mengaku sebagai rahasia purnama tapi jelas mata adalah indera paling jujur. Aku tangkap hati yang rekah juga ragu. Kita bukan manusia sejenis, Tapi jatuh cinta adalah tentang perbedaan. 











Risiko Paling Besar

Pembicaraan kita selesai di sini. Bagaimanapun yang membuat trauma bukan kehilangan tapi mencintai. Sayangnya aku tidak lagi mau mencintai, tapi jika kau orangnya, risiko paling besar kuhadapkan pada wajah sambil tersenyum. Akhirnya kau datang. 

Kuterima rindu yang kau kirim melangkahi pesan singkat. Sungguhan singkat karena yang kau tulis hanya rindu pada pelukku lalu lenyap lagi. Tapi tidak mengapa karena kau lebih memilih muncul dan kita berbagi langkah. Berbagi rindu. Melengkapi purnama sebagai janji kita tentang cerita-cerita kehidupan yang sarat. Aku tidak pernah keliru, bahwa tiap hembus napas yang kita tukar melingkari kesempatan baik kau maupun aku bahagia satu kali saja, sebab katanya kita berhak bahagia setidaknya satu kali dalam hidup. 

Tapi bahagiaku tidak pernah lebih dari gemetar yang muncul saat kau mengecupku dalam pejam.  Dalam penghayatan rasa sakit yang mengacau. Kita tidak akan pernah saling pulih tapi kita saling tampak. Untuk rintih yang kau dan aku nyanyikan berulang-ulang, kepada gemuruh suara yang berisik di dalam kepala, kepada jarum melintang di tenggorokan dan mendekam di sana, kami persembahkan jiwa yang luluh lantak dalam kehidupan. 

Kembali

Tentang menjuranya aku di bawah langit 
dan kami menangis bersahutan, 
setidaknya ia berkawan erat dengan bulan Juni. 
Sementara aku gelisah 
karena sebelah tanganku yang hampir tertangkap basah, 
meletakkan harap pada lengkara umpama kau ada di sini. 

Aku masih saja berkenan duduk di hadapanmu 
meski yang kau tatap adalah pandangan kosong. 
Kita, sama-sama tahu bahwa 
cinta ialah hal terakhir yang mungkin kita ulas. 
Asumsiku, yang akan kau bahas bukanlah padaku. 

Entah bulan Juni atau langit yang menangis, 
kuharap keduanya menilikku 
memeram sara yang kau titah untukku bertahan, bernapas. 
Sebab justru membiarkannya tetap terkemas rapi 
adalah dayaku berlapang dada. 
Sebab sejujurnya nadiku tidak lagi mampu 
berderu selepas kita menjarak. 
Sebab cintaku memilih bagaimanapun itu adalah namamu.  

Aku menjelma mintuna yang lekat dengan cinta kasih. 
Cintaku bukan legendanya dengan mimi di pesisir pantai, 
pun kisah abadi habibie yang mencintai ainun setengah mati. 
Kau tahu pasti aku tidak berdaya mencintaimu lebih dari ini. 
Hingga yang kulakukan hanya menantimu bukan menyusulmu, 
sampai-sampai yang kumampu hanya merindukanmu 
tanpa tegar beredar di sisimu.

Kini aku paham, 
perihal kata kita yang jadi satu-satunya misteri 
selama tahunan kau dan aku saling pergi. 
Sejak hari itu, ketika aku yang lebih dulu 
mendapati tatapanmu cukup panjang 
berhenti pada rona yang hendak memerah
Yang menutup dukanya dengan gelak berlebihan, 
yang mengubur laranya selapis demi selapis 
di balik sorot mata yang menjawab tatapanmu. 
Ia begitu berani. 

Kini aku paham,
Arti radar yang berdengap kuat
Hatiku menangkap hembus angin yang tidak tenang 
Intuisi mengolok logika yang mengaku
Dirimu adalah milikku
Di detik yang sama kutahu kau sebenarnya bukan untukku

Pada akhirnya aku sengaja memaku diriku, 
Melahap malu hati pada diri. 
Satu dekade selesai dan aku masih berpikir.
Aku, jatuh cinta yang biasa-biasa saja.  
Namun semestamu mengecohku dengan langkah yang salah
Saat itu pula aku sadar bahwa
Hujan bulan Juni hanya berpura-pura tabah. 

Karena yang kulihat hari ini, 
Kau kembali.
Menggarit cerita yang enggan datang. 
Sungguhpun kau tetap berjalan. 
Menarik senyummu yang sebenarnya jengah. 
Kau bawa pulang lenganmu penuh goretan meruah. 
Kau papah hatimu yang lelah bertingkah.
Kau muak, dirimu kembali untuk menyerah. 

Aku sama sekali tidak kebal melihatmu hancur. 
Hening kita jadi jawab apa kabarnya hujan bulan Juni. 
Hidup yang kau tinggalkan muncul dalam benak. 
Betapa dirimu pada mulanya pergi lalu kembali. 
Lalu kau kembalikan dirimu yang lumat. 

Kita duduk di pinggir teras yang kala itu basah oleh tempias. 
Hujan sudah berakhir. Kali ini kau lebih pilih menatap tanah liat
Melengahkan bentangan tanganku yang biasanya kau tangkap. 
Rindu yang berapi-api padam dengan sendirinya. 
Hatiku lebih pilih menyimpan beberapa saat lagi.  
Hingga kau benar-benar kembali.  

Karena yang kulihat sore ini,  
Dirimu jatuh dan tidak berdiri. 
Tatapmu kosong dan penuh luka. 
Jiwamu hampa dan kau berbicara,
Sore ini hanya pada lembayung emas.  
Kita membungkam segala suara dengan sengaja.  
Sebab aku tahu dirimu hanya ingin pulang. 


Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...