Sunday 24 May 2020

MASIH UNTUKMU LAUT YANG BIRU.



Masih untuk laut yang sama, samudera yang dalam, kama getir yang bertentangan dengan renjana. Perihal amigdala yang sejak dulu jadi poros, aku mampu menjadi apa saja. Bara yang jadi arang, atau langit yang membiru. Aku mampu membaurkan jingga menjadi titik titik cahaya yang berkaca padamu. Atau bertukar peran dengan neptunus, pergi jauh darimu, lalu menari sendirian di ujung tatasurya. Kita akan jadi sepasang gradasi kebiru-biruan. Sepasang yang menepikan jarak. Hal terakhir yang bahkan tidak mampu menyibakkan cintaku dan namamu.

Kita akan jadi sepasang kamuflase dalam biru, kekasihku adalah laut yang dalam. Samudera biru yang kupuja-puja. Aku dan kau bersenyawa dalam jeda, berkamuflase dengan warna. Sebab aku tahu betul kau tidak benar benar biru, dan aku tidak benar benar membaur. Cinta beranak pinak dengan hati bias. Diri sendiri mengendap di dalam rongga dada. Sama sekali tidak berencana menggeser takhta amigdala. Mencintaimu akan tetap bermakna sama, karena aku menyerahkan diri dengan segenap jiwa, dan raga. 

Sunday 17 May 2020

UNTUKMU LAUT YANG DALAM.


Ketika aku percaya bahwa hati dan diri adalah bentuk lain dari kesakitan, alam merundungku yang tengah nyaman duduk sila bersandar dengan satu tangan ke belakang. Berangan jika akulah lakuna yang dalam, menatap kejauhan di hadapan langit petang di atas samudera. 

Teruntuk dirimu laut yang dalam. 
Sebermula aku menjajak kakiku tergantung di tepi perahu. Serupa surya yang berencana tenggelam ke dalam hatimu. Sebermula aku menerka rasa damai melalui intuisi, meladeni delusi menyebrangi sekat yang jelas terlihat. 

Aku bak baskara yang nyaris terbenam. 
Garis tipis yang melengkung membatasinya. Kiranya kau menyambutku dengan lapang dada. Perkara aku datang membunuh diriku. Meredam lara karena padamu aku akan jadi bara. 

Tapi kau laut yang dalam. 
Dan aku baskara yang meredup. Sekujur lingkaran yang menyala mendadak rengsa, sebab aku pikir mengakuimu selaras dengan purnama adalah sikap dewasa meski sengsara. Sejak ku lantangkan diriku sebelum merapat pada kasihmu yang basah.

Sejak awal, pada era pertemuan kita di garis cakrawala. Menjajal hatimu yang terlanjur dingin, dan gelap, dan luas, dan berair adalah mimpi yang tidak pernah aku bayangkan. Sebab sejatinya kau begitu serasi dengan cahaya malam. Hitam legam sebagai simbol jiwa yang kelam.

Maka aku akan tenggelam. Menjadi bara. Menjadi arang. 

Wednesday 13 May 2020

Lanskap

Ada dua kemungkinan yang terjadi saat jatuh cinta, kau menjadi bukan dirimu, atau kau kembali menjadi dirimu. Tapi cinta tidak akan pernah salah. Bilamasa hujan tidak turun di bulan Juni maupun September, langit unguku akan selalu menunggu, tembakan-tembakan api akhir tahun. Kendati dirinya tahu tiap sorot yang menujunya melubangi pertahanannya hingga banyak, hingga yang tersisa hanya lanskap penuh bintang, dan penuh lubang. 

Tapi cinta tidak pernah kalah. Bilamasa yang terjadi kau harus melepaskan, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Kau akan kembali menjadi dirimu, atau kau kehilangan segalanya, termasuk dirimu sendiri. Bilamasa hujan tidak turun di bulan Juni, lanskap penuh bintang yang kau pandang akan jadi hal yang lebih tabah. Jauh lebih tabah. 

Saturday 9 May 2020

Aku hanya mohon menunggu sedikit lagi, lika liku luka laik menempa. Memang setiap manusia berhak atas setidaknya satu kehancuran dalam hidupnya. Hingga kita mampu menakar kadar nuraga yang manusia miliki. Mulut tidak selalu buruk, tapi hatiku tidak hentinya mengutuk. 

Langkah demi langkah akhirnya membawa aku kembali ke sekolah dasar. Mengulang satu pelajaran bagaimana cara bernapas dengan benar. Aku, amblas lenyap, dan hilang, terbenam dalam nuansa putih merah. Dan lorong-lorong itu, atap yang lowong, dari pekarangan rumah yang sebenarnya tidak perlu banyak menyelong. Malam melonglong tapi jiwaku tetap kosong.

Aku berangkat menantang peruntungan, menurutku hidup ini berhak atas setidaknya satu kebaikan, atau kesenangan, ketenangan, atau kedamaian. Tentunya aku boleh pilih yang mana, tapi ambil satu. Lalu kabur. Anggap aku melebur. Biarkan keburukan mencariku hingga inti bumi. Biar yang ia temui hanya, sisa dari kehancuran yang aku tanggalkan. 

Friday 1 May 2020

Bahagialah!

Sayangnya, kau tidak pernah tahu bagaimana mata jadi indera paling jujur. Meski senyum lebih sering mengembang jadi tawa yang sengaja direnyah-renyahkan, matamu selalu bicara, dengan pekik yang lantang bahwa hati itu luluh lantak. Aku akan tetap di sini, mengamati dengan baik bagaimana sempurnamu jadi topeng untuk hati yang terluka parah. 
Jika langkahmu terlalu jauh, baiknya menurutku kau bisa istirahat, sebentar saja. Temui gadis di taman sebelah utara itu, atau kau bisa tunggu aku di simpang timur. Namun, lebih dari semua itu. Jika ketenteraman hanya kau temui dalam kesendirian, bahagialah.
Malam dan kesendirian adalah hal paling mutlak dan paling sunyi. Karena yang kamu butuhkan hanya rasa perih itu, keheningan, malam yang gelap, bintang-bintang sebagai lenteranya, bulan jadi kawan dalam sedumu, lantunan nyanyian patah hati, dan dirimu sendiri. 
Percaya tidak kalau kujanjikan renjana jika kamu bertahan sedikit lagi? Belum lama aku akhirnya paham tentang Tuhan yang tidak pernah mengaturnya jika kamu tidak mampu. Kita selalu sanksi tentang diri kita yang melebihi apapun. Padahal ketika luka dikirim-Nya sebanyak dua, kau hanya perlu bertahan hingga hatimu jadi tiga. Ketika perihnya layak membakar duniamu, bertahan sedikit, sedikit saja lalu kau akan jadi semesta. Jika takdir memburuk dan jadi lebih brengsek lagi, kau hanya perlu bertahan dengan jadi lebih bajingan. Bukankah kau adalah pejuang yang tidak pernah mengalah?

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...