Tuesday 28 April 2020

Aku hanya tersenyum, lirih. Nanar matanya mencari kejujuran
senyum yang lebih pedih justru membingkai wajah teduh di hadapanku.
iba pada dirinya, dan diriku. Iba yang menusuk setiap mili hati kami. 
seolah ada kata yang harus diucap, namun seribu bayang kelam 
menghentikan seluruh gerak tubuh. Aku kaku. 

Ucapan berhenti pada kata yang belum mampu kukatakan, 
Bola mataku berkeliling, mencari akhir dari apa yang aku mulai. 
Panggilan menggantung yang butuh jawaban terasa berat 
karena akhirnya aku memilih menyimpannya lagi. 
Sejuta tanya yang aku bungkus rapi, setumpuk amarah 
yang mengeras dan akhirnya luruh sendiri.

kebingungan yang menyamarkan rasa cinta 
menjadi benci kemudian cinta kemudian benci 
dan terus begitu selama tahunan dirinya pergi. 
Semua itu tunduk pada rindu yang bangkit setelah ia kembali.
Andai kamu tahu jatuh cintaku hanya butuh 3 detik. 
Sama seperti, ketika kita bertatapan. 
Aku tenggelam dalam riuh gejolak yang berteriakan, 
Menyebut nama-mu dalam rongga dada paling hampa. 

Namun, kasih.
Andai kamu tahu tidak semua kejatuhan akan cinta, 
Mampu berkilah tentang kebahagiaan.
Nyatanya aku perlu mengais setitik demi setitik 
Jiwa bahagia di bawah rintik-rintik. 

Langit mendung tertawa nyeleneh, 
Aku dengan respon paling murah ketika kamu hanya tersenyum. 
Menyisakan ucapan tanpa suara di ujung gelisah,
Menenggelamkan sendumu, 
bersandar dalam pundak yang sama letih. 

Betapa aku tidak memohon untuk berdiri di sana,
Di sisi petirahan karena pun kamu sakit parah.
Kamulah, sisi cermin cekung yang mengecil 
Kitalah gambaran afeksi paling menyedihkan.

Namun, kasih. 
Jika kubiarkan hasta ini meraihmu tak kenal batas, 
Sebelumnya kita sudah jadi abu bakar yang getas. 
Jika kurestui jiwa ini memilikimu barang sebentar
Harus kurelakan kamu hilang dari sukma setelah itu. 

Yang kusadar, ketika kita perlu mati untuk bisa hidup lagi,
Aku, kita, tidak lagi mampu bertoleransi atas kehilangan.
Ketika, para manusia sibuk belajar cara memanusiakan, 
Aku, kita, cukup damai kala hanya mampu bernapas lega.

Monday 20 April 2020

Dua Tahun Silam

Sementara aku menakar upaya mengatakan padamu, 
Syair-syair aku simpan setiap hari dengan rima tidak jelas. 
Kabar berita aku sampaikan tertulis, 
tersegel tera tertentu kepada engkau, 
pendurian dalam sanubari. 
Kabar cerita aku lisankan dengan nalam, 
dua tahun terakhir. 

Surat untuk kau, terkasih, aku linting setiap lembarnya
yang kusimpan dalam bun tua, bun tembaga. 
Cintamu aku kemas dalam pusaranya. 
Salam. 

Apa kabarnya rinduan rua yang menyusur 
nestapa kisah dua manusia? 
Bertahun-tahun memaknai karma 
pada nirmala yang suci. 
Aku menempatkanmu jejak 
dalam takhta keemasan yang berpinar, 
berpendar.  

Aku letakkan pamrih paling besar untukmu, 
bernyawalah dengan syahdu, 
bahagialah tanpa sanda. 
Sebab dari tiap gelak manismu, 
aku cukup pilih tilam meski basah 
alih-alih airmataku berurai dan rembes. 
Cintaku juga kukemas bersama milikmu,  
kulepas peri, aku baktikan hidupku dalam sedu pilu.

Geram tetap pada suratan yang tidak pernah mujur 
Karena padamu tidak boleh aku gapai dengan jemari.
Aku ini,  bentuk lain dari kedurjanaan alam semesta. 
Siapa berani memaksaku tertawa?  
Biar aku wakilkan kebencian pakai hati yang mendidih.
Pada takdir jahanam yang tidak pernah memihak kita. 

Kali ini, dari pesisir pulau Rubiah yang biru. 
Maafku mengingkari janji
Harusnya kau jangan pernah percaya, 
Jika kujanjikan surai ini tetap berkibas lembut, wangi. 
Jika kutetapkan karang sebagai nyawa yang keras dan indah. 

Kendati aku lesap, 
hanya kusapa ibu pertiwi dari ujung-ke ujung, 
bentala paling mulia. 
Aku kirim, padamu terkasih, 
doa paling tulus meskipun terjarak ruang sela, 
menangis dari sini. 

Padamu, kasih, akulah ambang pelik yang menjadi
Kelopak yang tersisa dari gugurnya bunga edelweis. 
Tidak hidup, pun mati. 
Kala itu, aku tetapkan kisah kita jadi nyalar abadi. 
Dari dataran paling tinggi, menyunyi dari suara-suara hati
Yang ingin merebut kembali.

Aku, tidak cukup cakap melakukannya. 
Karena ketahuilah, 
Dara kirana yang pada akhirnya datang, 
Adalah rakitan doa-doaku tiap malam yang panjang.
Aku hanya titik koma dengan mental paling kecil. 
Sibuk menantang garis hidup, mana? 

Patah jadi perkara yang sudah biasa, 
Rasa yang kerap pati dan aku tahu diri. 
Menjura di bawah langit yang terluka parah. 
Kami sama-sama menangis. 
Ia menjerit dengan petirnya, aku tergugu dalam laraku. 
Aku merebah diri pada, alam dan seisinya. 

Friday 17 April 2020

tatkala hanya bisa bercumbu dengan 
ilalang-ilalang tanah lapang, 
di sudut kota itu. 
aku mengais
mengumpulkan asa yang berselirak.

hati ini tetap bergemuruh, 
bersimpuh. gelisah. 
bernalam dalam jiwa yang lebur 
dan hidup yang kusut. 

sejauh pandang 
ilalang-ilalang lunglai, 
dan sekumpulan mawar kuning liar 
yang sudah mati.  
bilamasa aku susut
kehilangan satu tangkai
jadi mati sebelangga. 

alam semesta merengkuh,
di bawah langit yang kemayu,
malu malu menyapa 
anak hawa yang berduka.
aku jelas, meregang jiwa. 

namun engkau, 
barangkali bajingan tanpa nuraga. 
harmoni sajak cinta, 
gelimang cita.
nikmatilah bahagiamu yang sehasta, 
sisanya telah aku sumpahi jadi cendala.

Monday 13 April 2020

kamu tidak akan pernah tahu bagai pijakan yang berat, aku bertahan dengan amunisi yang ter-sisa. aku kembali ke pinggir telaga, wangi amis lumut danau yang menyambutku haru, lunar penuh dalam bayangannya yang memanjang dan samar-samar.

aku menangis sejadi-jadinya. dingin tidak pernah lupa memelukku yang terluka parah. kejatuhan dengan mantra kasat mata kehijauan. bagai sihir nenek rumah hutan yang kelam. aku tenggelam.

Thursday 9 April 2020

belahan jiwa

aku masih menulis di alinea yang sama, menyelesaikan kata-kata yang belum sempat aku sampaikan. seribu dua ribu lembar tidak akan membuatku istirahat dengan mudah. 

tentu aku percaya konsep jodoh, tapi tidak dengan jodoh yang gak kemana.  jika kamu pergi, maka aku anggap jodoh kita telah selesai. pun dengan kalimat-kalimat yang sedang aku akhiri sendirian. 

jangan menangis sayang, sesal sudah menjadi bagian dari sukma para manusia. pelik takdir hanya perlu diterima dengan lapang dada. kata-demi kata puitis aku rangkai hanya demi mengenang kita yang pernah terjeda lama. lalu kembali untuk mengukir luka. aku melepasmu. dengan tenaga terakhir yang aku miliki.  

jadi meskipun setelah ini akan membaik atau justru tidak, kamu dan aku akan tetap menjadi bayang-bayang kisah anak manusia yang saling membenci, mengenal, mencinta, menyakiti, membenci lagi, melepas, dan pada akhirnya melupakan. 

beristirahatlah, sebentar cukup.  

aku akan merelakanmu jatuh cinta lagi setelah itu. akan aku lepas, kamu, dengan air mata. demi menghargai kisah patah hati kita yang rumit. meratapi duka mendalam atas kehilangan belahan jiwa. 

jatuh cintalah dengan benar. tidak perlu menggebu-gebu. ingat bagaimana kita jatuh cinta, tapi pada akhirnya menyerah juga? takdir buruk tidak akan selamanya bertahan. takdir baik tidak mungkin selalu berpaling, bukan? 

Wednesday 8 April 2020

bulan penuh milikmu.

sebenarnya ada alasan kenapa beberapa pesan untukmu selalu berhenti menjadi paragraf-paragraf yang tidak sampai pada tujuannya. aku selalu cemburu karena bulan purnama lebih dulu menjadi kekasih yang kamu puja-puja. aku selalu mencari tahu apa yang kamu suka dan pada akhirnya aku menyerah saja.  menjadi tahu diri. 

bulan penuh warna merah muda selalu menjadi yang paling indah, aku yang mencari tahu jadi lebih suka padamu dan padanya. Tuhan suka bercanda. aku dibuat jatuh pada kamu yang tidak mungkin tergapai. pada kamu yang lebih mencintai satu lingkaran terang yang semu. terlalu jauh untuk aku yang hanya mampu meraih dengan tangan-tangan pendek yang lunglai. 

jadi sudah kupastikan, aku hanya akan mencintaimu dari sini. bumi yang lebih sesak tapi selalu dengan hangat merengkuh. aku menjadi salah satu anak adam yang tidak akan mengerti terlalu baik. aku akan jadi pelindung bagi diriku dan hatiku, jika beberapa jam yang kita habiskan menjadikanku terlalu tenggelam dalam cinta, kamu bisa bawa aku menyangga di tepi. 

lalu sampaikan lagi padaku bahwa aku tidak punya bahkan sedikit sisa-sisa hatimu yang penuh dengan bulan purnama. aku hadiahkan padamu, wenang untuk tinggalkan aku sebentar dalam ruang yang kamu biarkan redup dengan lampu-lampu kecil warna biru. jangan pernah lelah untuk ingatkan aku tentang pelukkan rasa iba. bukan rasa cinta. 

baiknya memang kita potong rasa yang rambat dengan lambat. aku hadiahkan lagi kamu wenang untuk tidak peduli. cukup jalani hidup dengan bertahan dan jangan lupa minum air. lalu temui aku lagi beberapa tahun setelah ini, mungkin bisa saja kita duduk menatap bulan pujaanmu itu. semakin lama semakin baik. jangan lupa peluk aku lagi dan biar rasa-rasa iba kita berubah menjadi bahagia. 

Sunday 5 April 2020

bait-bait sajak

Aku hendak menyapa, sejak aku pastikan kamu mendayung dua perahu kecil itu menuju bintang utaramu. aku baik-baik saja jika memang bait-bait sajak itu mengingatkan kembali, dan aku menemukan kita di jeda-jeda sebelum dan sesudahnya. 

waktu yang terus berlarian dan aku seorang diri,  menegurku dengan kasar. jika memang jeda-jeda itu menjadi ruang kosong tanpa sedikit pun kata-kata, aku telah yakin bahwa segalanya memang diatur sedemikian bijak. 

hanya kita yang terurai tidak bijaksana. detik-detik yang sepi terus menghantuiku dengan kisah romansa dua manusia yang kita wakili. namun, aku dan kamu melepas remah-remahan rasa gelisah itu dengan angkuh. mencari-cari di mana bintang utaranya? 





Thursday 2 April 2020

pinjam senjanya alina

jangan pernah tanyakan padaku bagaimana kabarnya jalan tepi dan pohon-pohon kering itu. pun tentang kawanan burung yang melintas hanya sekelebat. sama sepertimu yang tidak menunjukkan peduli, aku akan memulainya dengan awalan yang sama. 

aku sedang berpikir keras, bagaimana aku berakhir dalam mengagumi, bait-bait aksara yang berantakan. pujangga-pujangga itu terus saja menulis karena luluh lantak. bagaimana kata-kita menjadi puisi yang tidak ingin aku baca untuk sementara. 

Jika hidup bersamamu adalah hal menyenangkan, biar jalan setapak itu menjadi saksinya. dua pasang kurcaci hutan yang menolongku. terlalu bahagia hingga aku merasa hampir mati karenanya. 

jika sebaliknya, aku beritahu bahwa aku menjadi tuna bahagia yang paling menikmatinya. bukan tentang kesialan-kesialan dalam hidup yang begitu fasih menyiksa kita yang sedang kasmaran, tapi bagaimana bisa dekapanmu menjadi yang paling menenangkan? 

seperti alina yang begitu membenci sukab karena senjanya baru datang bertahun-tahun kemudian, aku tetap berpesan jika suatu saat segalanya menjadi baik, cukup simpan senjamu dalam amplop itu. karena tiap duka-duka kita bisa saja kembali jadi malapetaka, karena sepotong senja hanya untuk alina. 

Wednesday 1 April 2020

Barangkali kamu harus mengingat namaku yang lengkap. aku duduk di sudut bangku panjang. taman ini, taman yang baru jadi. kamu dan aku melingkari jalannya jauh sebelum itu. bergandengan. 

bibir-bibir aspal memisah kita dan kamu bergeser ke kanan. selalu seperti akulah yang paling kamu lindungi,  dari macam-macam ancaman jalanan : dunia. maka aku bilang kamu harus ingat namaku yang lengkap, karena dari sisa-sisa yang singgah atau menetap,  akulah gadis itu. 

yang berjalan beriringan alih-alih langkah kita menuju kota Bogor. aku lihat senyum sumringah bahagia, kamu lihat apa yang kamu suka. tentu bukan aku. daun-daun aglonema itu berkilau-kilau terawat. kita pulang bersusah-susah. bersenang-senang. 

Hanya saja, memori yang kita rangkai dengan serabutan tidak bisa dianggap sekejap. tahun-tahun menjadi belasan dan kita masih saling mengenal, aku anggap jodoh kita selesai. meskipun begitu, aku tetap menjadi layak untuk diingat dengan nama yang lengkap. akulah gadis itu.

Kini, sesekali aku menonton kamu dari jauh. biar amarah-amarah yang lalu aku redam sendirinya, namun tidak sama sekali ber-arti tunggal. aku hanya mengobati sisa-sisa luka yang kamu tinggalkan. demi mengenang tanpa dibumbui benci yang sejak dulu kamu pahat dalam-dalam hidupku. sejak ciuman pertama belasan tahun lalu.

Bangku panjang ini sudah dicoret-coret anak umur dua belasan. padahal baru saja selesai dicat satu minggu lalu. namanya dan nama kekasihnya ditulis pakai tipeks. mereka tidak tahu bahwa cinta mudah saja hilang namun tidak dengan oretan di bangku ini. 

Mungkin sesal mungkin juga tidak, tapi kamu juga pernah menghiasi ratusan lembar buku harianku kala itu. kala puisi-puisi menjadi romantisme hidup kita. sebelum anak-anak jaman sekarang hanya kenal nonton bioskop. lalu berciuman di sana. seperti anak-anak umur dua belasan itu, sesungguhnya aku juga tidak pernah tahu bahwa kamu dan aku selalu saja bertahan sebentar-sebentar. 

Rindu tentu saja rindu. seringkali datang membabi buta. namun akulah si gadis itu, yang katanya masih saja percaya bagaimana hatimu. Aku menolak mentah-mentah meski perintahnya menguasai sanubari. biar saja cinta mati tertanam bersama rumput-rumput yang tetap hidup di bawah taman ini.  Merembes bersama air-air di kali buatannya. 

Di bangku panjang ini aku duduk di sudut. tidak bergerak sejak tadi. hanya sesekali menarik napas dalam-dalam karena sejujurnya rindu ini terasa sesak, memeras tenagaku terlalu banyak. 

Sebentar lagi aku akan berdiri,  dengan sisa-sisa napas menuntun kaki pulang ke rumah. hari ini cukup segini aku mengenang langkah-langkah kita yang berseragam putih biru. sesungguhnya berjalan bergandengan tidak begitu buruk. orang-orang dewasa sibuk bersiul-siul, tapi kita tetap berjalan berirama. 

rasanya ingin sekali menjadi sebegitu tidak pedulinya seperti dulu. alih-alih aku tersadar lagi bahwa seribu kalipun akan tetap kumaafkan jika bayarannya adalah tidak kehilangan. karena aku tahu betul, setelah ini kaki-kakiku akan selalu berjalan dengan langkah-langkah yang berat, meninggalkan kita dalam tubuh kecil itu di jalan-jalan menuju sekolah.

 

Dari jauh.

Tentunya aku rindu. kentara sekali setiap aku berlari seorang diri tergopoh, menghampiri duniaku dalam ruang lapang tanpa titik pandang. 

Dirimu kerap menjadi pendurian, seorang diri. hujan sudah reda,  saat aku lihat tetesan-tetesan sisa keringat langit megalir pada ujung-ujung durimu. 

Aku cukup ahli dalam melarikan diri. lebih baik aku berhenti di sini pikirku. pilu membiru katanya. padahal aku rasa akulah yang menjadi biru, bukan pilu bukan juga kamu. saat aku lihat tetes-tetes itu mengering lalu menghilang. 

Tentu aku mampu menahan rindu. Namun dalam telungkup dunia yang menyelimuti manusia,  seperti kita, yang digoyah lalu doyong seketika, kitalah rindu-rindu yang pilu, yang membiru seperti aku. 

senyumku mengembang, saat aku temukan titik pandang itu bermunculan tentang pasir-pasir putih buatan di ibu kota. tentu aku mengingatnya kembali, saat pria tua itu tertawa melihatmu menangkapku dari bawah sebelah perahu. 

tapi kamulah duri-duri dalam pendurian itu. yang nekat kugapai lalu kupeluk. bagaimana jadinya?  tentu saja aku hangat diiringi darah-darah mengalir dari setiap sentuhan kamu dalam tubuhku. 

Ini pagi-pagi saat aku kenali titik pandang itu mengingatkan aku pada aroma khas desir-desir pantai bercampur wangi tubuhmu karena kita perpandangan lekat. aku yang paling mengenali,  bagaimana noda-noda samar tanda lahir itu menutup sebagian wajah sendumu. 

Di antara luka-lukanya, aku tetap berdiri dari jauh. bukan memandang, apalagi menunggu. aku di sini di tempatku dari kejauhan. pendurianmu seakan memberi dinding bahwa akulah satu-satunya yang dilarang mendekat. cukup diberi makan dalam titik pandang penuh kenang. 

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...