Sunday 8 January 2012

"Pertama"



Wajah itu sudah memperlihatkan perasaan cemasnya sejak tadi ia berdiri, sudah 12 menit yang lalu angkot menurunkan Raisa di tepi jalan tempat ia janjian sama Ray. Tapi tidak dilihatnya batang hidung cowok itu. Raisa mencari tempat yang bisa ia duduki, tapi tetap bisa memantau tempat ia berdiri sekarang. ia duduk di kursi tua yang terbuat dari kayu yang berada di samping warung kecil-kecilan di belakangnya. Hanya sekitar dua meter dari tempat ia berdiri. Warung itu terlihat kosong, sepertinya Si Pemilik belum berniat untuk membuka warungnya. Dari kursi itu dipandanginya setiap tempat yang memungkinkan sebagai arah datangnya Ray. Jelas saja, sampai pagi ini pun Raisa tidak tau tempat tinggal Ray. Mereka berkenalan lewat dunia maya. Dan ini pertama kali mereka bertemu! Ya pertama! Setelah tiga tahun lama nya mereka berada dalam satu ikatan yang sebenarnya terpisah. Matanya terus waspada, meskipun tidak pernah bertemu tatap, tapi Raisa tau betul bagaimana wajah cowok itu, bahkan sampai seberapa luas bekas kehitaman di bawah matanya yang menandakan Ray sering terjaga dalam malamnya.
Hari ini memang bukan hari kerja, sepanjang jalan di hadapan Raisa terlihat lenggang, hanya ada beberapa motor dan mobil yang muncul sepersekian detik lalu menghilang lagi. Para pengguna jalan  memanfaatkan dengan baik kelenggangan yang jarang sekali mereka rasakan di padatnya ibu kota setiap pagi nya, apalagi jam-jam berangkat sekolah dan kantor.
20 menit berlalu, tidak juga ditemukannya Ray meskipun dari sudut matanya yang paling ujung.
“Lagi nyariin siapa sih?” tanya seorang cowok yang baru datang dan langsung menempatkan diri duduk di samping Raisa.
Sedetik lalu Raisa menoleh dengan perlahan, menjawab pertanyaan cowok yang berada disampingnya “Nunggu tem…” ucapannya terhenti setelah melihat Ray sangat dekat disampingnya. “Raaaaayyyyyyyy!!!!!! Lama banget sih, aku nunggu daritadi tau!” protes Raisa merajuk.
“Iya maaf maaf sa, aku kesiangan,” akunya dengan kejujuran sambil memperlihatkan cengiran yang lebar menandingi lebarnya jalan Raya di depan mereka, menjelaskan apa yang sebenarnya memang terjadi tanpa sedikitpun rasa tidak enak untuk mengatakannya. Walaupun cewek di sampingnya ini pasti akan tambah kesal mengetahui alasan mengapa Ray telat.
Dengan wajah yang tidak bisa menyembunyikan kesal, Raisa berdiri. Berusaha meredam kekesalannya itu, karena ia tidak mau pertemuan pertama mereka justru malah kacau. “Ayooo, kita mau kemana?” tanyanya berusaha melupakan bahwa Ray sudah telat hampir setengah jam.
“Kerumah aku aja yuk, entar agak sorean baru kita nonton. Nonton pertama looohhh” Ray ikut berdiri, senyum khasnya mengembang, siapapun pasti tau bahwa Ray sangat bahagia pagi ini. Langsung diraihnya kelima jari Raisa dan mengelus punggung ibu jari lawan bicaranya menggunakan ibu jarinya yang berukuran lebih besar dan lebih kasar. Meskipun permukaan telapak tangan Ray kasar layaknya tangan laki laki, Raisa bisa merasakan kelembutan dari genggaman itu. genggaman pertama…
       
Motor itu melaju cepat, membelah jalan yang mulai ramai. Diliriknya jam di pergelangan tangan yang menggenggam stang motor, jam menunjukan pukul sembilan. Matahari yang tadi terasa hangat mulai menjelaskan dirinya yang sebenarnya, melalui suhunya.
 Ray mempercepat laju motornya, memasuki perumahan standar kota jakarta. Mungkin akan sangat terlihat mewah jika perumahan itu tertanam di daerah lain –selain ibu kota yang terkenal sangat sesak oleh pendatang–. Dosennya hanya memberikan batas waktu hingga siang nanti, tepat jam 12.00. tidak ada toleransi untuk mahasiswa nya yang mengirim tugas lebih dari jam yang sudah ditentukan. sekalipun melahirkan adalah alasannya.
Ray tersenyum, masih di atas motornya yang besar, membiarkan tangan kanannya mandiri menopang motor itu agar tetap seimbang dalam lajunya. Tangan kirinya diletakkan di atas tangan Raisa yang melingkar di pinggangnya. Mengusapnya lembut. Mereka lebih banyak diam. Entah karena canggung atau malu karena ini pertemuan pertama. Tidak lama setelah Ray merengkuh tangan itu dalam tangannya, Ray menghentikan motornya, dan mempersilakan Raisa beranjak dari jok motornya. Dalam beberapa detik Ray sudah memasukan motornya ke garasi. Meraih tangan Raisa yang sedari tadi berdiri di teras menunggu Ray yang sedang sibuk di dalam garasi, sesekali melihat sekeliling teras rumah Ray yang dipenuhi bunga anggrek.
Dengan cepat Ray meraih tangan pacarnya –pacar? Apa ini bisa disebut pacar? Mulai sekarang anggap saja begitu keadaannya. Karena tidak satupun dari mereka tau hubungan itu disebut apa– lalu ditariknya masuk kedalam rumah. Dengan malu malu Raisa mengimbangi langkah Ray, matanya berkeliling, tidak ada siapa siapa. Sepi.
“Di atas aja ya Sa,” tanya Ray meskipun lebih terlihat seperti pernyataan.
“Papa mama kemana Ray? Cila mana?” matanya masih berkeliling, siapa tau ada seseorang disini yang bisa disapanya.
“Tadi waktu aku pergi jemput kamu sih masih ada, tapi sekarang gak tau pada kemana. Tiba tiba garasi udah kosong, nyari sarapan kali. Entar juga balik. Entar aja ya ngenalinnya, ayoo cepetan” dengan tergesa gesa tanpa sadar genggaman Ray terlepas, dia membuka pintu kamarnya dan langsung menyalakan laptop untuk finishing tugas dari dosennya yang killer. Bahkan sampai ia melupakan Raisa yang sebenarnya masuk dengan langkah ragu ragu ke dalam kamar Ray. Hanya beberapa detik dan tiba tiba Ray ingat Raisa yang tadi dibawanya, seketika Ray menoleh dan didapatinya Raisa duduk di atas kasur dengan sikap kaku seperti orang yang akan memberikan kesaksian palsu di depan jaksa dan hakim.
“Ya ampun Saaa kamu ngapain disitu. Sini!” dengan ragu Raisa menuruti perintah Ray untuk mendekat ke arah nya. Berbeda dengan biasanya saat mereka online telepon, Raisa sejak tadi lebih banyak diam. Ray sudah menyadarinya, ia tahu Raisa agak canggung dengan pertemuan itu. Tapi Ray mencoba mencairkan suasana sehangat mungkin.
“Ah iya iya” jawab Raisa sedikit terkejut
“Nih sini,” Ray meraih tangan Raisa dan menarik nya sampai Raisa terduduk di sampingnya. “Sebentar ya sa, tinggal finishing kok. Kalo kamu mau nonton tv nyalain aja tvnya.” Ray menunjuk remote yang berada di atas kasurnya.
“Tugas apa sih Ray? Sini aku bantuin deehhh,” Raisa mulai terbiasa dengan tatapan Ray yang langsung mengenai matanya. Menikmati ekspresi yang selama ini hanya ia baca dan ia dengar. Seketika senyumnya menipis, menarik pipinya yang merona sehingga menimbulkan gundukan pipi dibawah matanya.
“Yah kamu, masih sma ga usah belaga deeh. Ini kan bukan mainan,” tolak Ray tanpa niat ingin mengecewakan niat tulus Raisa.
“Huu yaudah aku nonton tv aja deh.” Raisa berseru dan beranjak dari tempat ia duduk ke atas tempat tidur Ray. Rapi, berbeda dengan kebanyakan kamar cowok lainnya.
Ray berdiri, lalu berjalan keluar kamarnya. Kegiatan itu tidak dipedulikan Raisa. Ia sibuk mengonta-ganti acara tv yang sebenarnya tidak ditontonnya. Akhirnya Raisa berdiri, memutuskan untuk melihat lihat seisi kamar Ray saja, di kamar Ray terdapat dua buah meja belajar yang letaknya bersebrangan. Diatasnya Ray meletakkan laptop dan alat alat elektronik lainnya. Di ujung meja di dekat speaker kecil yang biasa ia hubungkan dengan laptop, sebuah frame berwarna merah berdiri kokoh, melindungi sebuah foto didalamnya agar tidak rusak oleh debu. Ada papa dan mama Ray berdiri bergandengan, di depannya Ray sedang mengacak acak rambut cila. Cila yang terlihat anggun, memperlihatkan wajah marah karena kesempurnaannya dirusak oleh kakak kesayangannya. Umur mereka terpaut 13 tahun, buka jarak yang sebentar. Foto itu terasa sangat bahagia. Tawa mereka terlepas menghambur ke setiap mata yang melihatnya. Bisa terlihat keluarga itu sangt bahagia. Tanpa sadar Raisa ikut tertawa.
“Kamu liat apa Sa?” tiba tiba Ray masuk dengan tangan yang penuh dengan gelas dan makanan, dan lengan dan dadanya mengapit botol yang berisi air dingin. Sontak Raisa langsung berlari kecil menghampiri Ray.
“Sini sini aku bantuin,” pinta Raisa sembari mengambil botol yang diapit Ray dengan tangan dan tubuhnya dan meletakkan botol itu dimeja belajar dan disusul Ray kemudian.

“Kamu kalo mau nonton dvd buka aja laci yang itu,” ditunjuknya sebuah laci yang sedikit terbuka. “Tapi jangan buka yang di plastik biru ya. Itu khusus pria dewasa. Kamu masih kecil.”
“Iyaaaa, udah sana kerjain tugasnya cepet Ray”
“Iya, sebentar ya sayang,” Ray mengecup kening Raisa lembut, pelan, hangat, dan sangat cepat. Ciuman pertama yang didaratkan Ray di keningnya. Pertama…
Seketika degup jantung Raisa menjadi cepat dan tidak beraturan. Langsung dibukanya laci itu dan mengobrak abrik isinya. Menutupi wajahnya yang salah tingkah.
Raisa membawa beberapa dvd dan dicoba nya satu per satu, tapi tidak ada yang menarik perhatian Raisa untuk tau lebih jauh kelanjutan cerita film tersebut.
“Ray..”
“Apa?” Ray menjawab tanpa tolehan, ia sedang serius mengoreksi tugasnya sebelum ia kirim ke dosennya.
“Aku bebas ngapain aja kan?” tanya Raisa yang mulai merasa bosan
“Iya boleh, asal gak telanjang ya sa, entar aku gak konsen ngerjainnya.”
Saat itu pula sebuah jitakkan melayang keatas kepala Ray. Membuatnya mengerang kesakitan.
Raisa lalu berdiri, keluar dari kamar Ray dan mencari cari letak dapur. Pengakuan Ray yang mengeluh lapar saat membawa gelas dan beberapa cemilan, memunculkan ide untuk membuatkan Ray sarapan. Nasi goreng spesial dengan telur mata sapi setengah matang segera datang 20 menit kemudian.
“Ray, sarapan dulu,”
“Apatuh Sa? Asiiiikkkk!!!” Ray langsung menghampiri Raisa yang membawa sepiring penuh nasi goreng buatannya. Tanpa babibu lagi Ray langsung melahapnya. Benar-benar mirip orang yang 2 hari tidak makan, memancing senyum geli Raisa. “Terakhir makan kapan Ray?” goda Raisa melalui senyumnya.
“Bhaawu hemaeem”
“Hah? Telen dulu baru ngomong,”
“Baru semalem Sa,” Ray mengulang jawabannya sambil meraih gelas di sampingnya.
“Tapi cara makan kamu kayak orang gak makan berhari hari tau Ray,” Raisa tertawa, tangannya sibuk membolak-balik halaman buku tahunan saat Ray SMP, sambil sesekali melihat kelahapan Ray memakan nasi goreng buatannya.
“Abiiiiissssss!!” seru Ray setelah suapan terakhir masuk ke mulutnya. Raisa hanya tersenyum, akhirnya bisa masak untuk Ray. Meskipun Raisa bukan cewek yang hobi masak, tapi bisa dijamin bahawa setiap masakan yang dibuatnya pasti enak, apalagi masakan ini untuk Ray, masakan pertama…

Ray menggeser piringnya ke samping laptop, meneruskan kembali pekerjaannya. Membiarkan Raisa puas meledeknya karena melihat wajah imut Ray sewaktu SMP, beda sekali dengan wajah Ray sekarang yang ditumbuhi kumis yang sangat tipis yang menandakan dia sudah dewasa.
“Send!!!!” Ray meng-klik mouse sambil menyebutkan apa yang dikliknya, memamerkan kepada Raisa bahwa tugasnya sudah dikirim.
“Bagus deeh kalo udah selesai,” komentar Raisa sekenanya, kepalanya tidak berpaling, tetap sibuk dengan buku tahunan Ray saat SMP.
Ray mengerti, seharusnya memang hari ini adalah jatah Raisa bersamanya. Setelah 3 tahun mereka menjalin hubungan tanpa pernah menatap satu sama lain. Cowok itu mendekati Raisa, duduk disampingnya. “Ngeliatin apa sih?” tanyanya basa basi
“Ini Ray, liat deh kasian banget temen kamu ketutupan yang ini,” Raisa menunjuk foto yang ia maksud dengan telunjuknya. “terus yang ini, masa lagi merem di foto,” tawa mereka pecah.
Tapi setelah itu Ray langsung berdiri, berjalan menuju lemari, mengambil satu buah kaus, celana jins berikut pakaian dalamnya.
“Kamu mau ngapain Ray?” tanya Raisa, matanya mengikuti langkah Ray. Mendapati Ray sedang memilih-milih pakaian yang mau ia pakai. Pipinya memerah saat ray menenteng pakaian yang cukup asing untuk Raisa, pakaian dalam! Ni cowok gak ada malu-malunya  sama sekali ya sama gue, Batinnya.
“Aku mandi dulu ya Sa.”
“Mandi? Lah emang tadi jemput aku? Gamandi dulu?”
“Hehe kan tadi aku bilang aku kesiangan sayang,”
“Iiiihh jorok dasar,”
“Yee biarin, tetep ganteng kan?” Raisa tidak menjawab, sebagai gantinya, sebuah bantal kecil melayang, mendarat di pundak Ray.
“Aduh,” Ray mengerang pelan, tidak sakit sebenarnya. “sebentar ya sa, gak lama.” Ray berjalan menuju ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya. Jadi tidak perlu keluar kamar, tapi tidak seperti hari-hari biasanya yang dengan bebas keluar kamar mandi dengan handuk melilit di pinggangnya. Kali ini ia harus membawa baju yang akan ia kenakan ke dalam kamar mandi.
Raisa berdiri, matanya menemukan sesuatu yang menarik, sebuah lukisan di sebuah kanvas berukuran sedang, menggantung di depan meja belajar Ray, meskipun terlihat abstrak, tapi Raisa bisa dengan jelas mengetahui objek lukisan yang ada di hadapannya.
Puas memperhatikan lukisan itu, ia duduk sambil melihat lihat isi meja belajar Ray, bentuknya sederhana tapi tetap elegan. Di sebelah kiri ada tiga buah lemari. Ray meletakkan buku buku kuliahnya di dalam. Disusun dengan rapi, sesuai isi dan tinggi buku itu. beberapa disampul dengan plastik bening supaya tidak mudah rusak. Tidak sedikit ia menyimpan buku buka tua. Ray suka membaca, batin Raisa. Diatas lemari buku, Ray meletakkan dokumen-dokumen dan disimpannya di dalam map, warna yang mendominasi tumpukan map itu adalah warna hitam. Di bagian tengah ada beberapa bingkai foto, ada Ray sewaktu bayi, sejajar dengan fotonya sewaktu TK, SD, SMP, SMA. Semua diletakkan berurutan sesuai tingkatannya. Disebelah foto Ray saat SMA, ada sebuah foto lama, warnanya masih coklat dengan tingkatan warna yang berbeda. Seorang perempuan muda berdiri di foto itu, Raisa mengira-ngira sepertinya itu nenek Ray. Matanya kembali menjelajah, di tempat terpisah sebuah foto tergeletak tanpa bingkai, tapi Ray menyandarkannya di tumpukan buku dengan posisi 60 derajat, sehingga dengan jelas Ray bisa melihat foto itu setiap ia beraktivitas di meja belajarnya. Raisa diam, matanya tetap tertuju pada foto itu. raut mukanya berubah masam, mengira-ngira lagi siapa pemilik wajah yang ada di foto itu. larut dalam lamunan.
“Saaaa..” tidak lama Ray keluar dari kamar mandi dan menghampiri Raisa yang terduduk di depan meja belajarnya. wangi sampo terurai dari rambut Ray, harum sekali.
“Udah mandinya Ray?,” tanya Raisa basa basi, tidak ada ekspresi.
“Udah dong,” Ray menghampiri Raisa. Membelai lembut rambut Raisa, mencium puncak kepala Raisa yang masih duduk. Raisa hanya diam, masih berfikir keras, berusaha menghilangkan semua perkiraannya.
“Kamu lagi ngapain sayang?” tanya Ray, menarik tangan Raisa, menuntunnya agar berdiri. Ditatapnya baik-baik wajah Raisa, berusaha menghapal setiap detailnya. Jari nya tidak lepas dari jari jari mungil Raisa. Menarik tubuh gadis itu mendekat kearahnya,  mendaratkan sebuah kecupan di atas bibir Raisa. Perlahan, lalu dilepasnya. Raisa hanya tersenyum, ciuman pertama..
Ray menarik tubuh Raisa ke dalam pelukkanya. “sebentar ya saaa, jangan di lepas,” mata Ray bercerita bahwa saat itu ia sangat bahagia. Sudah 3 tahun ia ingin melakukannya, memeluk Raisa. Raisa tidak berkata apa-apa, ia hanya menjawab permintaan Ray dengan pelukan yang lebih erat, pelukkan pertama…
“Ray…” panggil Raisa, masih dalam rengkuhan Ray
“Hhmm?..” tangan Ray mengusap lembut rambut Raisa. Menunggu apa yang tadi ingin di katakan Raisa.
“Itu foto siapa Ray?” Raisa melepas pelukannya, menunjuk foto tak berbingkai yang diletakkan Ray di atas meja belajarnya.
“Itu mira,”
“Dia siapa?”
“Pacar aku, baru jadian..”
Mata Raisa terbelalak mendengar pernyataan itu, pacar? Hatinya berteriak, tubuhnya melemas, ia tersenyum lirih. Menarik tangan Ray, masuk kedalam pelukannya lagi. Diam dalam hitungan detik, “Aku pulang yaa?” bisik Raisa tetap dengan senyum, meskipun senyum yang ini tidak terlihat oleh Ray.
“Kenapa pulang?” tanya Ray, meskipun sebenarnya Ray tau apa yang membuat atmosfer di sekitar mereka terasa begitu dingin. Begitu menyakitkan.
Senyum Raisa tidak terbuka, tetap tipis dan lirih. Ia tidak berniat sama sekali untuk menjawab pertanyaan Ray. Membiarkan cowok itu menikmati pelukan mereka, pelukan terakhir..
Gak perlu dipertahanin lagi Ray, ini wanita kesekian yang hadir  di antara kita. bisiknya dalam hati. 



No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...