Perlahan Aku menarik kepalaku agar lebih tegak, mecoba membuat jarak
dari mata tajamnya yang menyeruak masuk ke dalam mataku, seperti
menuntut. Amat jelas aku lihat pupilnya mengecil, fokusnya tidak
gentar oleh apapun.
Ini memang wanitaku.
Kami duduk di pendopo kecil di depan gedung kampus. Langit mengatakan
bahwa jam sudah berlari ke angka tiga. Waktu terasa terlalu cepat,
dalam hati aku mengutuk diri sendiri karena melupakan peraturan tidak
tertulis bahwa aku harus selalu berkabar untuknya.
Susah payah aku bertahan agar tidak membuang pandanganku dari matanya.
Aku tidak ingin menjadikan tundukan sebagai tanda bahwa aku mengaku
bersalah. Tapi semakin lama tatapan itu semakin terasa membunuh.
padahal September kali ini tidak ada hujan, Tapi tanganku mulai terasa
dingin. Tak terdifinisi bagaimana takutnya aku apabila Ia marah.
"Engga ngerti orang khawatir?!", tangannya mencengkram pelan
pergelangan lenganku. Hal yang paling aku takutkan adalah ucapannya
yang lebih membunuh ketimbang matanya. Membuat rasa bersalahku semakin
memuncak. Tak kuasa, akhirnya aku berpaling dari matanya yg bundar.
Mempertahankan suara bising kampus yang sedari tadi menyelimuti kami.
Membiarkan Ia menangkap jawaban dari sikapku.
Pikiranku berkecamuk, ikut berlari bersama jam yang kini sudah
setengah jalan menuju angka empat. Mencari cara bagaimana
mengatakannya. Menyusun kekuatan agar suaraku tidak bergetar.
"Ikut yuk," akhirnya aku membuka suara atas keheningan kami yang
berisik oleh orang-orang. Sikapnya terlalu dingin untuk mendapatkan penjelasan, yang aku tahu Ia sangat kesal karena kekhawatirannya
sia-sia setelah melihatku baik-baik saja. Aku beranikan diri untuk
meraih tangannya, dan Ia menerimanya.
Kami berjalan ke dalam gedung kampus. Menjamah koridor tua yang sudah
tidak digunakan. Kelas disekitarnya tidak terjadwal karena jumlah
mahasiswa yang berkurang. Hanya segelintir mahasiswa yang
menggunakannya untuk melewati jalan tikus ke rumah kos.
Kesunyian kini menang. Seya tidak mencoba untuk bertanya lagi karena
sudah dipastikan aku tidak bisa menjawab. Membuat ketakutanku sedikit
mengendur. Kemudian muncul lagi bayangan di kepalaku dengan cerita
yang aku buat sendiri sedari pagi. Meskipun keyakinan bahwa respon
yang terjadi tidak akan lebih hebat dari yang aku bayangkan.
Langkah terakhir berhenti di depan pintu kamar kos-ku. Tatapan heran
mengelilingi setiap gerakanku. Pelan-pelan sekali aku membuka pintu
sambil mencuri pandangan ke arah matanya. Seya tetap diam, sampai aku
tarik tangannya masuk ke dalam kamar.
Tart kecil aku taruh di atas meja di tengah ruangan, lilinnya belum
menyala. Tepat diatasnya 30 tali balon helium warna biru muda aku ikat
bersatu sebagai tempat kartu ucapanku bergantung.
"Untuk 30 kita yang lebih spesial,"
Dan dia tetap diam.
"Sebenernya ini buat nanti malam, tapi pasti nanti malam aku udah kamu
makan saking sebelnya,"
"Kenapa Rai?" matanya berkaca. Aku tahu betul kelemahan wanita, tapi
kali ini sungguh karena aku cinta.
"Karena ini September, karena kamu suka September"
Wednesday, 30 September 2015
Saturday, 19 September 2015
Kerajaan Runtuh
KERAJAAN DISERANG!!!!!!!!
Granat berbagai jenis berterbangan dari segala arah.
Incendiary, Flashbang, Fragmentation, Low Explosive, High Explosive
kelas C-2, Nitroglicerine String, Napalm Gel, setidaknya hanya itu
yang tertangkap mata para prajurit.
Sisanya datang saat segalanya sudah hancur.
Pilar beton bergaya Eropa dengan ukiran wajah Raja yang mengelilingi
bagian atasnya, Lantai keramik berlapis kristal, tahta Raja berhiasi
beludru emas, hingga semua air kehidupan luluh lanta!
Beberapa prajurit yang hanya terluka, pergi memberikan serangan balik.
Sisanya meninggal di tempat. Rencana dibuat tidak seberapa matang.
Tidak ada waktu!
Raja melarikan diri dengan punggungnya yang terbakar, terseok-seok di
atas pasir panas yang membara akibat api dari kerajaan yang meloncat
kesana kemari.
Prajurit habis di medan tempur. Raja tergeletak sendirian.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Aku pun, ikut menghitung hari. Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...
-
Apabila datang saatnya aku harus bersandar di atas kelopak mataku, berdiri di atas kakiku sendiri. dan pada akhirnya benar benar berdiri se...
-
Apa yang pertama kali kalian pikirin waktu ngeliat pict ini? Warnanya yang coklat dengan gradasi yang abstrak dan lapisan mengkilat begitu k...
-
Masih untuk laut yang sama, samudera yang dalam, kama getir yang bertentangan dengan renjana. Perihal amigdala yang sejak dulu j...