Wednesday 30 September 2015

Karena Kamu Suka September

Perlahan Aku menarik kepalaku agar lebih tegak, mecoba membuat jarak dari mata tajamnya yang menyeruak masuk ke dalam mataku, seperti
menuntut. Amat jelas aku lihat pupilnya mengecil, fokusnya tidak gentar oleh apapun.
Ini memang wanitaku.

Kami duduk di pendopo kecil di depan gedung kampus. Langit mengatakan bahwa jam sudah berlari ke angka tiga. Waktu terasa terlalu cepat,
dalam hati aku mengutuk diri sendiri karena melupakan peraturan tidak tertulis bahwa aku harus selalu berkabar untuknya.

Susah payah aku bertahan agar tidak membuang pandanganku dari matanya. Aku tidak ingin menjadikan tundukan sebagai tanda bahwa aku mengaku bersalah. Tapi semakin lama tatapan itu semakin terasa membunuh. padahal September kali ini tidak ada hujan, Tapi tanganku mulai terasa
dingin. Tak terdifinisi bagaimana takutnya aku apabila Ia marah.

"Engga ngerti orang khawatir?!", tangannya mencengkram pelan pergelangan lenganku. Hal yang paling aku takutkan adalah ucapannya
yang lebih membunuh ketimbang matanya. Membuat rasa bersalahku semakin memuncak. Tak kuasa, akhirnya aku berpaling dari matanya yg bundar. Mempertahankan suara bising kampus yang sedari tadi menyelimuti kami. Membiarkan Ia menangkap jawaban dari sikapku.

Pikiranku berkecamuk, ikut berlari bersama jam yang kini sudah setengah jalan menuju angka empat. Mencari cara bagaimana mengatakannya. Menyusun kekuatan agar suaraku tidak bergetar.

"Ikut yuk," akhirnya aku membuka suara atas keheningan kami yang berisik oleh orang-orang. Sikapnya terlalu dingin untuk mendapatkan  penjelasan, yang aku tahu Ia sangat kesal karena kekhawatirannya sia-sia setelah melihatku baik-baik saja. Aku beranikan diri untuk meraih tangannya, dan Ia menerimanya.

Kami berjalan ke dalam gedung kampus. Menjamah koridor tua yang sudah tidak digunakan. Kelas disekitarnya tidak terjadwal karena jumlah mahasiswa yang berkurang. Hanya segelintir mahasiswa yang menggunakannya untuk melewati jalan tikus ke rumah kos.

Kesunyian kini menang. Seya tidak mencoba untuk bertanya lagi karena sudah dipastikan aku tidak bisa menjawab. Membuat ketakutanku sedikit
mengendur. Kemudian muncul lagi bayangan di kepalaku dengan cerita yang aku buat sendiri sedari pagi. Meskipun keyakinan bahwa respon
yang terjadi tidak akan lebih hebat dari yang aku bayangkan.

Langkah terakhir berhenti di depan pintu kamar kos-ku. Tatapan heran mengelilingi setiap gerakanku. Pelan-pelan sekali aku membuka pintu
sambil mencuri pandangan ke arah matanya. Seya tetap diam, sampai aku tarik tangannya masuk ke dalam kamar.

Tart kecil aku taruh di atas meja di tengah ruangan, lilinnya belum menyala. Tepat diatasnya 30 tali balon helium warna biru muda aku ikat bersatu sebagai tempat kartu ucapanku bergantung.

"Untuk 30 kita yang lebih spesial,"

Dan dia tetap diam.
"Sebenernya ini buat nanti malam, tapi pasti nanti malam aku udah kamu makan saking sebelnya,"

"Kenapa Rai?" matanya berkaca. Aku tahu betul kelemahan wanita, tapi kali ini sungguh karena aku cinta.

"Karena ini September, karena kamu suka September"

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...