Aku hanya tersenyum, lirih. Nanar matanya mencari kejujuran
senyum yang lebih pedih justru membingkai wajah teduh di hadapanku.
iba pada dirinya, dan diriku. Iba yang menusuk setiap mili hati kami.
seolah ada kata yang harus diucap, namun seribu bayang kelam
menghentikan seluruh gerak tubuh. Aku kaku.
Ucapan berhenti pada kata yang belum mampu kukatakan,
Bola mataku berkeliling, mencari akhir dari apa yang aku mulai.
Panggilan menggantung yang butuh jawaban terasa berat
karena akhirnya aku memilih menyimpannya lagi.
Sejuta tanya yang aku bungkus rapi, setumpuk amarah
yang mengeras dan akhirnya luruh sendiri.
kebingungan yang menyamarkan rasa cinta
menjadi benci kemudian cinta kemudian benci
dan terus begitu selama tahunan dirinya pergi.
Semua itu tunduk pada rindu yang bangkit setelah ia kembali.
No comments:
Post a Comment