Thursday 9 August 2012

Cinta Pada Merpati

“Mata adalah saksi

Dan diam bukan berarti bisu

Kematian telah hadir

Membunuh cahaya

Perlahan redup

Redup

Semakin redup

Dan pada akhirnya kegelapanlah yang bertahta”

Tatapan sendu itu berkelana pada lamunan yang tidak kunjung berakhir. Ada ruang yang sudah lama membeku di dalam hati Seya. Menyadari kehampaan yang semakin lama semakin menyudutkannya. Membawa Seya jauh tertinggal di masa lalu.

Kekosongan perlahan berbisik padanya, bahwa segalanya akan terlewati dengan tenang. Tapi kehidupan sontak melumpuhkan angan dan harapan Seya. Membunuh mimpinya. Memaksa dirinya lumpuh termakan sang waktu.

“Apakah setelah ini akan baik baik saja?”

Seya menjaga dirinya dalam memori yang tertinggal, membiarkan tangisnya tumpah tak terbendung. Nanar matanya bercerita bahwa Seya menyimpan rindu, yang teramat dalam. Yang menjadikan siangnya segelap malam, mati rasa sampai terikpun terasa lebih dingin dari es di kutub. “Bu,” pelan terdengar mulut Seya terbuka, memanggil satu nama yang tidak mungkin datang.

Mata Seya melihatnya, tapi tubuhnya terpaku, diam seperti patung. Ia menatap dari jauh apa yang sedang terjadi dalam radius tujuh meter di hadapannya. Seya menarik kakinya, menyembunyikan tubuhnya di balik pohon kecapi tua yang besar, ia menatap lekat-lekat apa yang sedang terjadi di sana. Perlahan mata cokelat Seya memerah, terbelalak tapi hanya bisa diam membisu, menjadikan atmosfer di sana menjadi semakin beku.

Seketika nyanyian kematian mulai beralun, iramanya mencekam mengisi hening yang sejak tadi tercipta melalui tangis yang terbungkam. Bulu putih indah telah ternodai oleh bercak darah. Meskipun mata adalah saksi, tapi diam bukan berarrti bisu.

Cukup lama setelah binatang buas itu beranjak dari tempatnya. Seya memulai langkahnya, mengumpulkan sisa sisa kekuatan yang ia miliki. Dengan gemetar dan penuh keraguan Seya menghampiri ibunya. Bukan, sisa jasad ibunya. Bulu-bulu putih saat ini sudah berterbangan, cuaca memang sedang berangin, tidak sedikit daun daun kering yang ikut berputar-putar mengikuti permainan angin.

“Bu, kenapa setragis ini?”

Tubuh Seya yang sudah tidak berdaya itu berusaha tetap berjalan meskipun terseok, hatinya hancur. Sedikit demi sedikit Seya berusaha mengumpulkan sisa potongan tubuh ibunya yang hanya berupa bulu bulu halus dan sepotong kaki yang sudah kehilangan satu jarinya.

Dengan kakinya, Seya menggali tanah di tempat itu, tempat ibunya kehilangan satu satunya nyawa yang dimilikinya. Seya terus menggali sampai lubang yang ia buat dapat menenggelamkan jasad ibunya yang tidak seberapa besar. Udara yang semakin dingin, semakin menusuk ke dalam tulangnya, ke dalam hati Seya. Kenyataan mengatakan bahwa mulai sekarang Seya sebatang kara.

“Bu, apakah aku sanggup sendirian” sambil menutup kembali lubang yang sudah berisi bulu putih berlumur darah dan sepotong kaki yang tidak utuh, Seya hanya bisa mengeluh. Takdir ini tidak adil, pikirnya. Dan mulai saat ini hanya akan ada satu buah selimut di dalam sarang, hanya akan ada sedikit cacing segar dan itupun hanya untuk sendiri., hanya akan ada tangisan tanpa penenangnya.

“Selamat jalan Bu,” pohon-pohon di sekitar Seya seolah mengerti hati Seya. Satu per satu daun kering mulai berjatuhan. Mereka melepaskan diri dari tangkainya seolah merasa terpanggil oleh alam, sama seperti ibu Seya yang telah melepaskan diri dari belenggu kehidupan, dan menuju kedamaian yang paling abadi.

Di sini, di dunia yang juga semakin renta tinggalah Seya yang harus tetap bertahan dan berjuang meneruskan hidupnya meski seprang diri, sama seperti pohon yang harus tetap tumbuh meskipun ia telah kehilangan bagiannya yang berharga.

Daun-daun yang berguguran disambut hangat oleh angin, ia membawa daun-daun kering itu terus berterbangan. Angin mencoba mengulur waktu agar daun daun itu lebih lama menyentuh tanah. Enta apa tujuan angin melakukannya, tapi jelas terlihat bahwa usahanya berhasil. Daun-daun itu terus saja menari, membuat putaran di udara, meliuk kesana kemari, mengelilingi Seya dan berkata melalui bahasanya, “Tenang Seya, ada kami,” bisikinya di telinga Seya yang kecil.

Angin terus saja mempermainkan dedaunan yang sudah tidak berdaya itu, tapi mereka menyambutnya dengan hangat. Tubuh mereka yang rapuh membuat mereka menyerah pada kehendak alam, dan dengan tenang menuruti apa yang diinginkan alam pada kehidupannya.

“Bu, apa di surga ibu makan enak? Apakah di sana ibu bisa mendapatkan anak cacing yang masih merah seperti yang sering kita perebutkan? Aku meridukanmu Bu,” mata indah Seya menggambarkan kesedihannya, menunjukan bahwa hatinya masih terluka karena kehilangan. Ia tertunduk malu pada ranting ranting yang juga telah ditingalkan oleh dedaunan yang menua, yang masih tetap bersemangat sampai ia benar benar menjadi butiran abu.

“Mana mungkin aku menyamakan ibu seperti daun daun itu, bodoh. Tentu saja mereka punya semangat, karena mereka punya harapan. Karena suatu saat yang sudah pasti, daun daun muda akan tumbuh menghijau, seperti ditakdirkan untuk menyelimuti ranting saat malam, melindungi ranting saat hujan, dan tentunya membuat pohon pohon itu merasa hidup untuk kali kedua.” Air muka Seya menolak uluran tangan mentari yang bersinar terang. Seya membiarkan tubuhnya yang amat ringkih bersembunyi di dalam sarangnya. “ tapi ibu, apakah bisa ibu tumbuh seperti daun daun muda itu? Mereka tidak sama, daun daun itu tidak sama seperti ibu yang mati untuk selamanya, tidak! Bukan! Mereka tidak bisa disamakan dengan ibu! Tidak!” dialognya bersama alam membuat Seya kesal sendiri, membayangkan kemunafikan dunia yang mengaku mengerti kesedihan yang ia rasakan, namun tidak sedikitpun belasungkawa yang ia perlihatkan. Kehidupan terus berjalan.

Seya pergi keluar sarangnya, ia berlari di udara. Memamerkan air matanya pada dunia. Daun daun di sekitar sarangnya mulai menguning karena terkena sinar matahari. Pantulan cahaya di bagian daun yang melengkung menghasilkan kilauan-kilauan yang cantik. Tidak semua daun bisa menikmati hangatnya matahari, daun-daun yang tumbuh di bagian bawah tetap gagah seperti pahlawan yang menawarkan kesejukan kepada siapapun yang berteduh di bawah mereka. Awan di langit berjalan dengan lambat, dan dengan mudah Seya mendahului gerakan mereka. Seya mengepakkan sayapnya dengan lantang. Ia ingin pergi, kemanapun itu, yang penting pergi.

Air mata Seya terus menetes, menghampiri bumi yang dengan setia menunggu anaknya datang kembali menapak di tanah. Bumi membiarkan anaknya itu terbang sejauh yang ia inginkan. Berharap harap cemas, semooga kelak kesedihan itu bisa hilang terbawa angin yang Seya temui entah di bumi bagian mana.

“Bu, kalau sudah begini aku harus benci pada siapa?”

3 comments:

Anonymous said...

boleh juga anak ini

Dhesna Cindra Bhumi said...

boleh apaan haha

Anonymous said...

keren ya dhes,, haha

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...