Malam yang hujan
begitu dingin untuk terlelap. Pijar lampu yang temaram menuntunku berfikir
tentang kamu. Satu-satu kerinduan mulai
menyentuh, sampai akhirnya menyeluruh.
Aku dikembalikan
pada ingatan usang penuh debu. Ketika kecupan sedektik penuh cinta, terasa
begitu hangat meski terhalang rambut di atas pelipis. Perasaan hangat yang
berlari mengikuti darah hingga ujung jari.
Kemudian aku pergi
ke lembar setelahnya. Dimana semua perempuan menuntut bukti untuk cinta, aku
malah bahagia ketika kamu hanya mengucapkannya.
Rindu berdesir
semakin kuat, mengubah memori indah menjadi kesakitan. Bulir-bulir air mata
kian deras, muncul rasa yang tidak jelas di antara kerongkongan dan
tenggorokan.
Malam hujan semakin padu dengan suara petir
sesekali. Pijar lampu yang temaram mengisi warna redup dalam pandanganku.
Hormon rindu semakin pekat.
Lembar demi lembar kenangan menipiskan
ketahananku. Air mata mengundang kantuk, namun mataku tidak lepas dari jaketmu
yang tersanggah dipunggung bangku kayu tua di kamarku. Aroma tubuhmu yang
menempel ikut masuk bersama udara dingin yang aku hirup, membuat aku semakin
menggila.
Rindu telah melewati batas wajar. Lubang kecil
di dada kini semakin membesar. Rasanya kamu hilang terlalu lama.
No comments:
Post a Comment