Tuesday 28 June 2016

Lampu Temaram

Malam yang hujan begitu dingin untuk terlelap. Pijar lampu yang temaram menuntunku berfikir tentang  kamu. Satu-satu kerinduan mulai menyentuh, sampai akhirnya menyeluruh.

Aku dikembalikan pada ingatan usang penuh debu. Ketika kecupan sedektik penuh cinta, terasa begitu hangat meski terhalang rambut di atas pelipis. Perasaan hangat yang berlari mengikuti darah hingga ujung jari.

Kemudian aku pergi ke lembar setelahnya. Dimana semua perempuan menuntut bukti untuk cinta, aku malah bahagia ketika kamu hanya mengucapkannya.

Rindu berdesir semakin kuat, mengubah memori indah menjadi kesakitan. Bulir-bulir air mata kian deras, muncul rasa yang tidak jelas di antara kerongkongan dan tenggorokan.

Malam hujan semakin padu dengan suara petir sesekali. Pijar lampu yang temaram mengisi warna redup dalam pandanganku. Hormon rindu semakin pekat.

Lembar demi lembar kenangan menipiskan ketahananku. Air mata mengundang kantuk, namun mataku tidak lepas dari jaketmu yang tersanggah dipunggung bangku kayu tua di kamarku. Aroma tubuhmu yang menempel ikut masuk bersama udara dingin yang aku hirup, membuat aku semakin menggila.

Rindu telah melewati batas wajar. Lubang kecil di dada kini semakin membesar. Rasanya kamu hilang terlalu lama.

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...