Monday 20 April 2020

Dua Tahun Silam

Sementara aku menakar upaya mengatakan padamu, 
Syair-syair aku simpan setiap hari dengan rima tidak jelas. 
Kabar berita aku sampaikan tertulis, 
tersegel tera tertentu kepada engkau, 
pendurian dalam sanubari. 
Kabar cerita aku lisankan dengan nalam, 
dua tahun terakhir. 

Surat untuk kau, terkasih, aku linting setiap lembarnya
yang kusimpan dalam bun tua, bun tembaga. 
Cintamu aku kemas dalam pusaranya. 
Salam. 

Apa kabarnya rinduan rua yang menyusur 
nestapa kisah dua manusia? 
Bertahun-tahun memaknai karma 
pada nirmala yang suci. 
Aku menempatkanmu jejak 
dalam takhta keemasan yang berpinar, 
berpendar.  

Aku letakkan pamrih paling besar untukmu, 
bernyawalah dengan syahdu, 
bahagialah tanpa sanda. 
Sebab dari tiap gelak manismu, 
aku cukup pilih tilam meski basah 
alih-alih airmataku berurai dan rembes. 
Cintaku juga kukemas bersama milikmu,  
kulepas peri, aku baktikan hidupku dalam sedu pilu.

Geram tetap pada suratan yang tidak pernah mujur 
Karena padamu tidak boleh aku gapai dengan jemari.
Aku ini,  bentuk lain dari kedurjanaan alam semesta. 
Siapa berani memaksaku tertawa?  
Biar aku wakilkan kebencian pakai hati yang mendidih.
Pada takdir jahanam yang tidak pernah memihak kita. 

Kali ini, dari pesisir pulau Rubiah yang biru. 
Maafku mengingkari janji
Harusnya kau jangan pernah percaya, 
Jika kujanjikan surai ini tetap berkibas lembut, wangi. 
Jika kutetapkan karang sebagai nyawa yang keras dan indah. 

Kendati aku lesap, 
hanya kusapa ibu pertiwi dari ujung-ke ujung, 
bentala paling mulia. 
Aku kirim, padamu terkasih, 
doa paling tulus meskipun terjarak ruang sela, 
menangis dari sini. 

Padamu, kasih, akulah ambang pelik yang menjadi
Kelopak yang tersisa dari gugurnya bunga edelweis. 
Tidak hidup, pun mati. 
Kala itu, aku tetapkan kisah kita jadi nyalar abadi. 
Dari dataran paling tinggi, menyunyi dari suara-suara hati
Yang ingin merebut kembali.

Aku, tidak cukup cakap melakukannya. 
Karena ketahuilah, 
Dara kirana yang pada akhirnya datang, 
Adalah rakitan doa-doaku tiap malam yang panjang.
Aku hanya titik koma dengan mental paling kecil. 
Sibuk menantang garis hidup, mana? 

Patah jadi perkara yang sudah biasa, 
Rasa yang kerap pati dan aku tahu diri. 
Menjura di bawah langit yang terluka parah. 
Kami sama-sama menangis. 
Ia menjerit dengan petirnya, aku tergugu dalam laraku. 
Aku merebah diri pada, alam dan seisinya. 

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...