Thursday 28 June 2012

Sejatinya Senja

Senja..

Ungunya malam mulai membaur seiring dengan tenggelamnya sang raja siang. Langit sangat cantik, kalau saja aku bawa kanvas dan beberapa kuas kesayanganku, tanpa ragu pasti aku salin kecantikan senja ke atasnya.

September.. mungkin sean lupa akan janjinya, setiap 30 september kami akan kesini. Ke balik bukit, dan menghabiskan malam memandang bintang, bersama kunang-kunang. Orang dulu bilang kunang kunang adalah lampunya orang yang sudah meninggal. Sean sering menakuti-nakitiku, bodoh saja. Aku lebih takut kehilangan dia ketimbang orang yang sudah meninggal.

Aku tidak mungkin lupa, pertama kali sean menggenggam tanganku, tawanya lepas. Puas mengerjaiku

Udara di sekelilingku tidak membawa suara dari manapun, sunyi. Tapi sesekali aku dengar ranting kering jatuh, mungkin karena tertiup angin yang sedang terburu-buru pulang. Aku selalu berhayal anginpun punya kehidupan seperti kita. Ada bapak angin, ibu angin, nenek angin, kakek angin, dan seterusnya. Aku membayangkan di atmosfer sana ada rumah yang juga terbuat dari udara. Bapak angin bertugas untuk bekerja, ibu angin memasak, dan anak angin bermain. Maka dari itu, setiap pagi dan sore, banyak angin yang berhembus kencang, itu karena bapak angin pergi dan pulang bekerja selalu terburu buru. Dan siang hari ibu angin memasak untuk suami dan anaknya karena itulah siang hari selalu panas, tapi tentu saja akan terasa sejuk kalau kita duduk di bawah pohon, di situlah tempat anak angin bermain. Hi..hihi aku geli sendiri jika mengingat imajinasiku yang terlalu liar.

“kamu disini?” suara laki laki dari arah belakang mengejutkanku. Meskipun sebenarnya aku kenal betul suara itu. Suara yang dulu milikku.

“sean..” tentunya wajahku tidak bisa berbohong menutupi keterkejutanku melihat sean benar benar datang, menepati janji kami.

“aku telat Ra?”

“hah eh engga yan,”

“kamu udah lama di sini?”

“baru kok,”

Sean langsung meletakkan tubuhnya di sampingku, di atas batang pohon yang sengaja ditebang dan dibelah dua secara vertikal untuk duduk, kami membayar orang untuk melakukannya, tepatnya dua tahun lalu.

Aku bahkan bingung mau memulai dari mana, selagi otakku menimbang nimbang apa yang sebaiknya aku ucapkan, setidaknya untuk basa basi, selama itu pula kami diam. Mungkin sean pun sedang berfikir sama denganku. Bingung mau bicara apa. Langit semakin ungu, orang orang desa sudah mulai menyalakan lampu. Cahaya matahari sudah tenggelam.

“kabar kamu gimana yan?” akhirnya aku putuskan untuk menanyakan kabar.

“baik, kamu ra?”

“hem.. lumayan,”

“lumayan baik atau lumayan buruk?”

“ya.. pokoknya lumayan,”

"kenapa lumayan? kenapa gak baik? atau kenapa gak buruk?"

aku kehabisan kata, Sean selalu tahu kapan aku baik-baik saja dan tidak. tapi petang ini terlalu indah untuk aku rusak dengan cerita yang sudah merusak duniaku.

"emm.."

"em apa?" Sean begitu tenang, karismanya tidak pernah hilang. Aku tidak menjawab pertanyaannya. lagipula sepertinya itu bukan pertanyaan. tapi penekanan bahwa Sean menyadarinya, sakit yang aku bawa ke tempat ini, yang ingin aku lepas bersama senja.

sekeliling kami sudah gelap. Sean berdiri, lalu menyalakan lampu neon sebagai cahaya satu satunya selain cahaya bulan yang masih muda. Lalu Sean berjalan dan berdiri di hadapanku, tangannya menengadah, meminta aku untuk meletakkan pasangannya, tanganku. Lalu Sean membimbingku berdiri. ya tuhan haruskah kami kembali ke waktu yang sudah tiada?

mata Sean mentapku dengan lekat, tangan kanannya memeluk pipiku dan tangan satunya menggenggam tanganku yang kecil. Aku selalu merasa dunia ini sering tidak adil, kenapa makhluk di hadapanku ini harus menjadi milik orang lain? padahal aku yakin aku yang memiliki hatinya. dan kenapa aku harus menjadi milik orang lain? yang juga sebenarnya aku cintai. hidup begitu rumit untuk selalu dipertanyakan, kenapa. tapi senja inilah yang sejati milik aku dan Sean...

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...