"Maaf Ra," Air hujan masuk di sela-sela ucapan Rai yang bergetar. Dira hanya diam. matanya begitu sendu.
Pelan-pelan Rai mengatur nafasnya, mencari ketenangan supaya bisa bicara banyak. Dadanya menggembung jauh, sampai akhirnya Rai membuang nafasnya dan memejamkan mata. Detik berdetak lima kali. Rai membuka matanya, menatap Dira yang masih dalam genggamannya.
"Ra, ibu mau ketemu Kamu," Dira terhenyak, pupil matanya mengecil. Memori Dira kembali ke rumah Rai lima tahun lalu. Sebagian dalam dirinya mencoba berfikir positif. tapi kenangan bertahun-tahun yang lalu menggoyahkan hatinya, mengikis kebahagiannya sedikit demi sedikit.
Dengan sangat sadar melihat dira memucat, Rai menarik pundak Dira agar mendekat hingga di antara mereka tersisa masing-masing selapis kaus basah. Pelan-pelan Dira memejamkan mata. Kepalanya tidak melewati leher Rai, dengan begitu ia telah bersandar di tempat yang paling nyaman menurutnya.
Hujan sisa rintik-rintik. Rai melihat jelas kegundahan hati Dira. Kegundahan yang lebih menyiksa dirinya, seolah takdir meletakkan jarum melintang di tenggorokkan Rai dengan kedua ujung yang tajam. "Sebentar aja, Ra"
Dira tidak menjawab, hanya sedikit anggukan yang terasa di dada Rai. meskipun anggukkan itu sedikit, dalam arti sebenarnya. Tanpa sadar Rai menghela napas, terlihat ada kelegaan yang lepas.
#bersambung
Tuesday, 21 June 2016
Musim hujan - 2
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Aku pun, ikut menghitung hari. Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...
-
Apabila datang saatnya aku harus bersandar di atas kelopak mataku, berdiri di atas kakiku sendiri. dan pada akhirnya benar benar berdiri se...
-
Apa yang pertama kali kalian pikirin waktu ngeliat pict ini? Warnanya yang coklat dengan gradasi yang abstrak dan lapisan mengkilat begitu k...
-
Masih untuk laut yang sama, samudera yang dalam, kama getir yang bertentangan dengan renjana. Perihal amigdala yang sejak dulu j...
1 comment:
hai dira ������
Post a Comment