Tuesday 31 March 2020

Bumiku sakit.

Kak, bumi sedang sakit. Pun aku yang tidak kunjung sembuh. Dalam lantunan kesakitan nyanyian patah hati, yang mengiring malam-malam panjang tanpa satupun dapat kuraih dan kupeluk. 

Di sinilah aku yang dinobatkan menjadi ahli kesepian yang hancur lebur sejak, aku mengambil jatah napas untuk yang pertama kali. kehilangan kau dan kau menjadi predikat dan awal mula bising-bising kota terasa sepi. bergelut dalam tradisi patah hati dengan luka yang itu-itu saja. Waktu ke waktu segalanya membaik tapi tidak dengan raga dan diri. 

Bumiku perih dengan segala macam bentuk kehilangan. hari-hari, bulan-bulan. kini bising-bising kota itu menjadi benaran sepi. tidakkah kalian lihat adik kecil ini perlu ditemani? hanya saja jangan datang karena aku penakut. dan tenagaku habis-habisan. 

Dari ujung ke ujung bumiku bertemu berbaring bersebelahan, tentu saja karena kalianlah sebelah jiwaku yang terbagi dan rebah, tanpa batas waktu dan tidak kenal apa itu bosan?  Andai saja sedikit berpendarpun tidak mengapa karena kenyataannya terlalu gelap.

Kak, titip pesan jika Tuhan memang sedang menjahili hambanya. tidak semua manusia mampu berjalan di atas beling-beling kehilangan. meskipun patah hati juga bukan jalan yang dapat dipilih. Sudah cukup mereka yang berdiri pasang badan sekeras baja untuk melindungi, lemah lunglai melihat manusia lain memupuk kecewa berjalan-jalan di luar. 

Setidaknya jika itu, kamu tidak akan menemukanku bersuara. Tetap berdeku di pojok ruangan, bersembunyi. cukup menikmati indah manusia yang hidup tidak sendirian. tidak perlu merelakan, tetap menutup telinga dengan musik karena bising-bising kota kembali lagi. 

Akulah si penyandang bumi kak, tentunya berat. 


No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...