Wednesday 1 April 2020

Dari jauh.

Tentunya aku rindu. kentara sekali setiap aku berlari seorang diri tergopoh, menghampiri duniaku dalam ruang lapang tanpa titik pandang. 

Dirimu kerap menjadi pendurian, seorang diri. hujan sudah reda,  saat aku lihat tetesan-tetesan sisa keringat langit megalir pada ujung-ujung durimu. 

Aku cukup ahli dalam melarikan diri. lebih baik aku berhenti di sini pikirku. pilu membiru katanya. padahal aku rasa akulah yang menjadi biru, bukan pilu bukan juga kamu. saat aku lihat tetes-tetes itu mengering lalu menghilang. 

Tentu aku mampu menahan rindu. Namun dalam telungkup dunia yang menyelimuti manusia,  seperti kita, yang digoyah lalu doyong seketika, kitalah rindu-rindu yang pilu, yang membiru seperti aku. 

senyumku mengembang, saat aku temukan titik pandang itu bermunculan tentang pasir-pasir putih buatan di ibu kota. tentu aku mengingatnya kembali, saat pria tua itu tertawa melihatmu menangkapku dari bawah sebelah perahu. 

tapi kamulah duri-duri dalam pendurian itu. yang nekat kugapai lalu kupeluk. bagaimana jadinya?  tentu saja aku hangat diiringi darah-darah mengalir dari setiap sentuhan kamu dalam tubuhku. 

Ini pagi-pagi saat aku kenali titik pandang itu mengingatkan aku pada aroma khas desir-desir pantai bercampur wangi tubuhmu karena kita perpandangan lekat. aku yang paling mengenali,  bagaimana noda-noda samar tanda lahir itu menutup sebagian wajah sendumu. 

Di antara luka-lukanya, aku tetap berdiri dari jauh. bukan memandang, apalagi menunggu. aku di sini di tempatku dari kejauhan. pendurianmu seakan memberi dinding bahwa akulah satu-satunya yang dilarang mendekat. cukup diberi makan dalam titik pandang penuh kenang. 

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...