Wednesday 1 April 2020

Barangkali kamu harus mengingat namaku yang lengkap. aku duduk di sudut bangku panjang. taman ini, taman yang baru jadi. kamu dan aku melingkari jalannya jauh sebelum itu. bergandengan. 

bibir-bibir aspal memisah kita dan kamu bergeser ke kanan. selalu seperti akulah yang paling kamu lindungi,  dari macam-macam ancaman jalanan : dunia. maka aku bilang kamu harus ingat namaku yang lengkap, karena dari sisa-sisa yang singgah atau menetap,  akulah gadis itu. 

yang berjalan beriringan alih-alih langkah kita menuju kota Bogor. aku lihat senyum sumringah bahagia, kamu lihat apa yang kamu suka. tentu bukan aku. daun-daun aglonema itu berkilau-kilau terawat. kita pulang bersusah-susah. bersenang-senang. 

Hanya saja, memori yang kita rangkai dengan serabutan tidak bisa dianggap sekejap. tahun-tahun menjadi belasan dan kita masih saling mengenal, aku anggap jodoh kita selesai. meskipun begitu, aku tetap menjadi layak untuk diingat dengan nama yang lengkap. akulah gadis itu.

Kini, sesekali aku menonton kamu dari jauh. biar amarah-amarah yang lalu aku redam sendirinya, namun tidak sama sekali ber-arti tunggal. aku hanya mengobati sisa-sisa luka yang kamu tinggalkan. demi mengenang tanpa dibumbui benci yang sejak dulu kamu pahat dalam-dalam hidupku. sejak ciuman pertama belasan tahun lalu.

Bangku panjang ini sudah dicoret-coret anak umur dua belasan. padahal baru saja selesai dicat satu minggu lalu. namanya dan nama kekasihnya ditulis pakai tipeks. mereka tidak tahu bahwa cinta mudah saja hilang namun tidak dengan oretan di bangku ini. 

Mungkin sesal mungkin juga tidak, tapi kamu juga pernah menghiasi ratusan lembar buku harianku kala itu. kala puisi-puisi menjadi romantisme hidup kita. sebelum anak-anak jaman sekarang hanya kenal nonton bioskop. lalu berciuman di sana. seperti anak-anak umur dua belasan itu, sesungguhnya aku juga tidak pernah tahu bahwa kamu dan aku selalu saja bertahan sebentar-sebentar. 

Rindu tentu saja rindu. seringkali datang membabi buta. namun akulah si gadis itu, yang katanya masih saja percaya bagaimana hatimu. Aku menolak mentah-mentah meski perintahnya menguasai sanubari. biar saja cinta mati tertanam bersama rumput-rumput yang tetap hidup di bawah taman ini.  Merembes bersama air-air di kali buatannya. 

Di bangku panjang ini aku duduk di sudut. tidak bergerak sejak tadi. hanya sesekali menarik napas dalam-dalam karena sejujurnya rindu ini terasa sesak, memeras tenagaku terlalu banyak. 

Sebentar lagi aku akan berdiri,  dengan sisa-sisa napas menuntun kaki pulang ke rumah. hari ini cukup segini aku mengenang langkah-langkah kita yang berseragam putih biru. sesungguhnya berjalan bergandengan tidak begitu buruk. orang-orang dewasa sibuk bersiul-siul, tapi kita tetap berjalan berirama. 

rasanya ingin sekali menjadi sebegitu tidak pedulinya seperti dulu. alih-alih aku tersadar lagi bahwa seribu kalipun akan tetap kumaafkan jika bayarannya adalah tidak kehilangan. karena aku tahu betul, setelah ini kaki-kakiku akan selalu berjalan dengan langkah-langkah yang berat, meninggalkan kita dalam tubuh kecil itu di jalan-jalan menuju sekolah.

 

No comments:

Aku pun, ikut menghitung hari.  Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...