Sebenarnya tidak sebatas suam-suam kuku. Sebagaimana aku kabur ke dunia yang tanpa kamu, yang layarnya tidak pernah membauimu dan jalannya tidak pernah merekam jejakmu, di jagat raya yang membantingku bolak-balik lamat-lamat angkat kaki. Tajuk yang lepas sejak lama akhirnya belingsatan ditarik masa dulu. sedianya akhir dari surat kabarmu jatuh di sudut catatan kaki. Aram-temaram dengan lara manis yang sebam-sayup tapi kita bisa terkekeh. Barangkali yang mengerikan waktu menjadi dewasa adalah rasa bersalah yang terlalu besar pada aku yang dulu.
Sunday, 31 July 2022
Thursday, 30 December 2021
20 Hari
Mungkin bedanya tanah yang kupijak tanpa bunyi langkahmu, menyalak kepada kakiku yang takut-takut menapak. Tiga jam atau 20 hari terus berlari tanpa akal sehat yang rupanya sakit. Kita semua tahu kesakitan hanya makna kias yang menemukan kata-katanya sendiri, yang tidak benar-benar 20 hari.
Aku hanya bebal. Hingga pura-pura terbenam di balik laut si kekasih yang arogan itu. Nyatanya di manapun pusat yang memungutku, aku boleh jadi berotasi lebih dari tiga kali sehari, mengacak-acak lembaran almanak. Gelagat di atas bentala yang sumbang, tapi aku barangkali tetap beredar lebih dari tiga kali sehari.
Wednesday, 28 April 2021
Hanya jika kau berkenan aku akan merindukanmu sejadi-jadinya. Rindu yang detik ini juga akan menangkap langkahnya pergi menuju dirimu, melahap dekap yang selama ini kau sembunyikan layaknya rahasiamu bersama kepalamu sendiri.
Hanya jika dirimu perkenankan aku akan merampasmu dari dunia yang sengaja menyibakkan kita tanpa diketahuinya tidak ada perdebatan yang becus melerai diriku dan renjana yang kukepal lekat di dalam nyawa.
Hanya saja jika dunia lagi-lagi tidak berkenan melihatku yang menjarah kamu dalam persembunyiannya, pun semesta yang menyelimutimu dalam takdir yang sama sekali tidak memanggilku dalam peraduannya, aku akan tetap merindukanmu dengan segenap kasih yang kupeluk sendirian dalam petirahan.
Thursday, 22 April 2021
TITAH
Kau titah kaki-kaki ku bungkam dalam ruang kecil yang sesak oleh sejarah. Segalanya disusun begitu rapi seolah rencana alam tiada duanya. Aku semata-mata menunggu langkahmu kembali beradu denganku. Sebetulnya aku sudah muak mengatakan aku masih saja mencintaimu. Baik nanti atau hari-hari sebelum kita selesai. Hanya saja aku tidak lagi mampu bersarang di sini bersama dada yang hampir binasa, karena bernapas kini jadi barang langka. Maka aku gunakan sisa takdir ini untuk membuka banyak pintu, meski entah di pintu mana aku bisa menemukanmu.
Monday, 12 April 2021
Kamu masih menjadi lawan bicaraku bahkan pukul tiga pagi. Untuk selanjutnya, mungkin dua atau tiga tahun lagi. atau mungkin selamanya aku akan tetap bicara padamu, dalam percakapan satu arah yang sama sekali tidak jadi masalah. Tentang hari-hari yang padam, dalam malam-malam yang panjang.
Seakan rasa sakit jadi tradisiku setiap pagi. Betapa dicintai jadi hal asing yang mengganggu ketika itu bukan kau. Cinta jadi samar, aku lupa tentang perasaan yang ditumbuh-tumbuhkan sebab perkara waktu. Saat aku pikir perihal kehilangan lagi, meleburkan jiwaku yang terlanjur babak belur.
Friday, 4 December 2020
Kacau
Gusar hendak baur pagi-pagi buta
melarikan diri dari sisa kesadaran.
Beberapa tanya masih berputar di kepala,
aku katakan pada naluri yang lumayan kacau
Bagaimana jika sumpah untuk bahagia masing-masing
tidak dapat ku tepati sebab segalanya tampak rusak?
Umpama kehidupan yang kutimbang berbalik alur
Aku sungguh akan kembali pada awal mulai.
Jauh sebelum deru kaki yang tidak sengaja saling menuju.
Karena sebaik-baiknya pertemuan,
Aku memilih tidak bertemu
Monday, 13 July 2020
Atau hanya bias rindu yang lupa diri
Dilalahnya kau muncul dalam mimpi lalu raih telapakku yang tidak bertuan. Kita berjalan cepat di antara bangku ruang tunggu stasiun kereta api antar kota. Hanya itu bagian yang kuingat jelas karena sesudahnya kau buat pagiku penuh sesak kesulitan meraih udara. Lalu seketika aku malah bernapas dengan cepat hingga kepalaku pening. Entah bagaimana denyut tak lagi berdenyut. Dalam nadi mengalir rindu yang ditahan alam semesta. Padahal aku sesungguhnya merindukanmu dengan segenap jiwa, seluruh raga, dalam sadar dan di bawahnya. Aku merajuk pada takdir karena membawamu pergi tanpa aba-aba. Lalu dikembalikannya kau dalam bentuk yang samar-samar menarikku di tengah kerumunan. Jika ada yang lebih menyiksa lagi bagaimana bila kita tonton drama kolosal hingga menangis. Aku ingin coba mengecap air mata dari luka orang lain, perkara mungkin akan sama perih, setidaknya bukan dari luka yang itu-itu saja.
Sunday, 5 July 2020
RITUAL BULAN PENUH
Seusai perjamuan luka dan purnama
Di teras lembab yang dingin,
Aku mengingat kita dalam bentuk lain.
Akhirnya kita sempatkan cerita tentang kehidupan.
Kau ingin kita bicara banyak di bawah bulan penuh.
Semacam ritual patah hati yang lenyap sebentar.
Tidak berubah bahagia, namun
Hambar lebih baik dari sakit yang bukan main.
Aku lebih butuh pelukan ketimbang jalan-jalan.
Kita menetap hingga pagi buta berubah terang.
Mungkin seperti ini kita sampai akhir.
Sampai patah hati terjaga dari malam keruh.
Kau tatap tanah liat, aku pandang langit terang.
Dengan putus asa yang entah kapan selesai.
Bisa-bisanya luka kita yang amis darah,
Dilahap penghuni langit bak sesajen wangi.
Malam rebah di atas tanah.
Ritual bulan penuh belum lengkap tanpa nyalar.
Kau melambai dari bawah.
Menyapa luka yang jadi santapan malam.
Sunday, 14 June 2020
Bertemu
Cara kita bertemu sudah kuterka sejak ribuan hari yang lalu. Hari ini tiba waktunya namun tidak satupun khayalanku berjalan menjadi latar. Tidak untukmu tidak padaku, cinta mengaku sebagai rahasia purnama tapi jelas mata adalah indera paling jujur. Aku tangkap hati yang rekah juga ragu. Kita bukan manusia sejenis, Tapi jatuh cinta adalah tentang perbedaan.
Risiko Paling Besar
Pembicaraan kita selesai di sini. Bagaimanapun yang membuat trauma bukan kehilangan tapi mencintai. Sayangnya aku tidak lagi mau mencintai, tapi jika kau orangnya, risiko paling besar kuhadapkan pada wajah sambil tersenyum. Akhirnya kau datang.
Kuterima rindu yang kau kirim melangkahi pesan singkat. Sungguhan singkat karena yang kau tulis hanya rindu pada pelukku lalu lenyap lagi. Tapi tidak mengapa karena kau lebih memilih muncul dan kita berbagi langkah. Berbagi rindu. Melengkapi purnama sebagai janji kita tentang cerita-cerita kehidupan yang sarat. Aku tidak pernah keliru, bahwa tiap hembus napas yang kita tukar melingkari kesempatan baik kau maupun aku bahagia satu kali saja, sebab katanya kita berhak bahagia setidaknya satu kali dalam hidup.
Tapi bahagiaku tidak pernah lebih dari gemetar yang muncul saat kau mengecupku dalam pejam. Dalam penghayatan rasa sakit yang mengacau. Kita tidak akan pernah saling pulih tapi kita saling tampak. Untuk rintih yang kau dan aku nyanyikan berulang-ulang, kepada gemuruh suara yang berisik di dalam kepala, kepada jarum melintang di tenggorokan dan mendekam di sana, kami persembahkan jiwa yang luluh lantak dalam kehidupan.
Kembali
Tentang menjuranya aku di bawah langit
dan kami menangis bersahutan,
setidaknya ia berkawan erat dengan bulan Juni.
Sementara aku gelisah
karena sebelah tanganku yang hampir tertangkap basah,
meletakkan harap pada lengkara umpama kau ada di sini.
Aku masih saja berkenan duduk di hadapanmu
meski yang kau tatap adalah pandangan kosong.
Kita, sama-sama tahu bahwa
cinta ialah hal terakhir yang mungkin kita ulas.
Asumsiku, yang akan kau bahas bukanlah padaku.
Entah bulan Juni atau langit yang menangis,
kuharap keduanya menilikku
memeram sara yang kau titah untukku bertahan, bernapas.
Sebab justru membiarkannya tetap terkemas rapi
adalah dayaku berlapang dada.
Sebab sejujurnya nadiku tidak lagi mampu
berderu selepas kita menjarak.
Sebab cintaku memilih bagaimanapun itu adalah namamu.
Aku menjelma mintuna yang lekat dengan cinta kasih.
Cintaku bukan legendanya dengan mimi di pesisir pantai,
pun kisah abadi habibie yang mencintai ainun setengah mati.
Kau tahu pasti aku tidak berdaya mencintaimu lebih dari ini.
Hingga yang kulakukan hanya menantimu bukan menyusulmu,
sampai-sampai yang kumampu hanya merindukanmu
tanpa tegar beredar di sisimu.
Kini aku paham,
perihal kata kita yang jadi satu-satunya misteri
selama tahunan kau dan aku saling pergi.
Sejak hari itu, ketika aku yang lebih dulu
mendapati tatapanmu cukup panjang
berhenti pada rona yang hendak memerah
Yang menutup dukanya dengan gelak berlebihan,
yang mengubur laranya selapis demi selapis
di balik sorot mata yang menjawab tatapanmu.
Ia begitu berani.
Kini aku paham,
Arti radar yang berdengap kuat
Hatiku menangkap hembus angin yang tidak tenang
Intuisi mengolok logika yang mengaku
Dirimu adalah milikku
Di detik yang sama kutahu kau sebenarnya bukan untukku
Pada akhirnya aku sengaja memaku diriku,
Melahap malu hati pada diri.
Satu dekade selesai dan aku masih berpikir.
Aku, jatuh cinta yang biasa-biasa saja.
Namun semestamu mengecohku dengan langkah yang salah
Saat itu pula aku sadar bahwa
Hujan bulan Juni hanya berpura-pura tabah.
Karena yang kulihat hari ini,
Kau kembali.
Menggarit cerita yang enggan datang.
Sungguhpun kau tetap berjalan.
Menarik senyummu yang sebenarnya jengah.
Kau bawa pulang lenganmu penuh goretan meruah.
Kau papah hatimu yang lelah bertingkah.
Kau muak, dirimu kembali untuk menyerah.
Aku sama sekali tidak kebal melihatmu hancur.
Hening kita jadi jawab apa kabarnya hujan bulan Juni.
Hidup yang kau tinggalkan muncul dalam benak.
Betapa dirimu pada mulanya pergi lalu kembali.
Lalu kau kembalikan dirimu yang lumat.
Kita duduk di pinggir teras yang kala itu basah oleh tempias.
Hujan sudah berakhir. Kali ini kau lebih pilih menatap tanah liat
Melengahkan bentangan tanganku yang biasanya kau tangkap.
Rindu yang berapi-api padam dengan sendirinya.
Hatiku lebih pilih menyimpan beberapa saat lagi.
Hingga kau benar-benar kembali.
Karena yang kulihat sore ini,
Dirimu jatuh dan tidak berdiri.
Tatapmu kosong dan penuh luka.
Jiwamu hampa dan kau berbicara,
Sore ini hanya pada lembayung emas.
Kita membungkam segala suara dengan sengaja.
Sebab aku tahu dirimu hanya ingin pulang.
Sunday, 24 May 2020
MASIH UNTUKMU LAUT YANG BIRU.
Masih untuk laut yang sama, samudera yang dalam, kama getir yang bertentangan dengan renjana. Perihal amigdala yang sejak dulu jadi poros, aku mampu menjadi apa saja. Bara yang jadi arang, atau langit yang membiru. Aku mampu membaurkan jingga menjadi titik titik cahaya yang berkaca padamu. Atau bertukar peran dengan neptunus, pergi jauh darimu, lalu menari sendirian di ujung tatasurya. Kita akan jadi sepasang gradasi kebiru-biruan. Sepasang yang menepikan jarak. Hal terakhir yang bahkan tidak mampu menyibakkan cintaku dan namamu.
Kita akan jadi sepasang kamuflase dalam biru, kekasihku adalah laut yang dalam. Samudera biru yang kupuja-puja. Aku dan kau bersenyawa dalam jeda, berkamuflase dengan warna. Sebab aku tahu betul kau tidak benar benar biru, dan aku tidak benar benar membaur. Cinta beranak pinak dengan hati bias. Diri sendiri mengendap di dalam rongga dada. Sama sekali tidak berencana menggeser takhta amigdala. Mencintaimu akan tetap bermakna sama, karena aku menyerahkan diri dengan segenap jiwa, dan raga.
Sunday, 17 May 2020
UNTUKMU LAUT YANG DALAM.
Ketika aku percaya bahwa hati dan diri adalah bentuk lain dari kesakitan, alam merundungku yang tengah nyaman duduk sila bersandar dengan satu tangan ke belakang. Berangan jika akulah lakuna yang dalam, menatap kejauhan di hadapan langit petang di atas samudera.
Teruntuk dirimu laut yang dalam.
Sebermula aku menjajak kakiku tergantung di tepi perahu. Serupa surya yang berencana tenggelam ke dalam hatimu. Sebermula aku menerka rasa damai melalui intuisi, meladeni delusi menyebrangi sekat yang jelas terlihat.
Aku bak baskara yang nyaris terbenam.
Garis tipis yang melengkung membatasinya. Kiranya kau menyambutku dengan lapang dada. Perkara aku datang membunuh diriku. Meredam lara karena padamu aku akan jadi bara.
Tapi kau laut yang dalam.
Dan aku baskara yang meredup. Sekujur lingkaran yang menyala mendadak rengsa, sebab aku pikir mengakuimu selaras dengan purnama adalah sikap dewasa meski sengsara. Sejak ku lantangkan diriku sebelum merapat pada kasihmu yang basah.
Sejak awal, pada era pertemuan kita di garis cakrawala. Menjajal hatimu yang terlanjur dingin, dan gelap, dan luas, dan berair adalah mimpi yang tidak pernah aku bayangkan. Sebab sejatinya kau begitu serasi dengan cahaya malam. Hitam legam sebagai simbol jiwa yang kelam.
Maka aku akan tenggelam. Menjadi bara. Menjadi arang.
Wednesday, 13 May 2020
Lanskap
Ada dua kemungkinan yang terjadi saat jatuh cinta, kau menjadi bukan dirimu, atau kau kembali menjadi dirimu. Tapi cinta tidak akan pernah salah. Bilamasa hujan tidak turun di bulan Juni maupun September, langit unguku akan selalu menunggu, tembakan-tembakan api akhir tahun. Kendati dirinya tahu tiap sorot yang menujunya melubangi pertahanannya hingga banyak, hingga yang tersisa hanya lanskap penuh bintang, dan penuh lubang.
Tapi cinta tidak pernah kalah. Bilamasa yang terjadi kau harus melepaskan, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Kau akan kembali menjadi dirimu, atau kau kehilangan segalanya, termasuk dirimu sendiri. Bilamasa hujan tidak turun di bulan Juni, lanskap penuh bintang yang kau pandang akan jadi hal yang lebih tabah. Jauh lebih tabah.
Saturday, 9 May 2020
Aku hanya mohon menunggu sedikit lagi, lika liku luka laik menempa. Memang setiap manusia berhak atas setidaknya satu kehancuran dalam hidupnya. Hingga kita mampu menakar kadar nuraga yang manusia miliki. Mulut tidak selalu buruk, tapi hatiku tidak hentinya mengutuk.
Langkah demi langkah akhirnya membawa aku kembali ke sekolah dasar. Mengulang satu pelajaran bagaimana cara bernapas dengan benar. Aku, amblas lenyap, dan hilang, terbenam dalam nuansa putih merah. Dan lorong-lorong itu, atap yang lowong, dari pekarangan rumah yang sebenarnya tidak perlu banyak menyelong. Malam melonglong tapi jiwaku tetap kosong.
Aku berangkat menantang peruntungan, menurutku hidup ini berhak atas setidaknya satu kebaikan, atau kesenangan, ketenangan, atau kedamaian. Tentunya aku boleh pilih yang mana, tapi ambil satu. Lalu kabur. Anggap aku melebur. Biarkan keburukan mencariku hingga inti bumi. Biar yang ia temui hanya, sisa dari kehancuran yang aku tanggalkan.
Friday, 1 May 2020
Bahagialah!
Sayangnya, kau tidak pernah tahu bagaimana mata jadi indera paling jujur. Meski senyum lebih sering mengembang jadi tawa yang sengaja direnyah-renyahkan, matamu selalu bicara, dengan pekik yang lantang bahwa hati itu luluh lantak. Aku akan tetap di sini, mengamati dengan baik bagaimana sempurnamu jadi topeng untuk hati yang terluka parah.
Jika langkahmu terlalu jauh, baiknya menurutku kau bisa istirahat, sebentar saja. Temui gadis di taman sebelah utara itu, atau kau bisa tunggu aku di simpang timur. Namun, lebih dari semua itu. Jika ketenteraman hanya kau temui dalam kesendirian, bahagialah.
Malam dan kesendirian adalah hal paling mutlak dan paling sunyi. Karena yang kamu butuhkan hanya rasa perih itu, keheningan, malam yang gelap, bintang-bintang sebagai lenteranya, bulan jadi kawan dalam sedumu, lantunan nyanyian patah hati, dan dirimu sendiri.
Percaya tidak kalau kujanjikan renjana jika kamu bertahan sedikit lagi? Belum lama aku akhirnya paham tentang Tuhan yang tidak pernah mengaturnya jika kamu tidak mampu. Kita selalu sanksi tentang diri kita yang melebihi apapun. Padahal ketika luka dikirim-Nya sebanyak dua, kau hanya perlu bertahan hingga hatimu jadi tiga. Ketika perihnya layak membakar duniamu, bertahan sedikit, sedikit saja lalu kau akan jadi semesta. Jika takdir memburuk dan jadi lebih brengsek lagi, kau hanya perlu bertahan dengan jadi lebih bajingan. Bukankah kau adalah pejuang yang tidak pernah mengalah?
Tuesday, 28 April 2020
Aku hanya tersenyum, lirih. Nanar matanya mencari kejujuran
senyum yang lebih pedih justru membingkai wajah teduh di hadapanku.
iba pada dirinya, dan diriku. Iba yang menusuk setiap mili hati kami.
seolah ada kata yang harus diucap, namun seribu bayang kelam
menghentikan seluruh gerak tubuh. Aku kaku.
Ucapan berhenti pada kata yang belum mampu kukatakan,
Bola mataku berkeliling, mencari akhir dari apa yang aku mulai.
Panggilan menggantung yang butuh jawaban terasa berat
karena akhirnya aku memilih menyimpannya lagi.
Sejuta tanya yang aku bungkus rapi, setumpuk amarah
yang mengeras dan akhirnya luruh sendiri.
kebingungan yang menyamarkan rasa cinta
menjadi benci kemudian cinta kemudian benci
dan terus begitu selama tahunan dirinya pergi.
Semua itu tunduk pada rindu yang bangkit setelah ia kembali.
Andai kamu tahu jatuh cintaku hanya butuh 3 detik.
Sama seperti, ketika kita bertatapan.
Aku tenggelam dalam riuh gejolak yang berteriakan,
Menyebut nama-mu dalam rongga dada paling hampa.
Namun, kasih.
Andai kamu tahu tidak semua kejatuhan akan cinta,
Mampu berkilah tentang kebahagiaan.
Nyatanya aku perlu mengais setitik demi setitik
Jiwa bahagia di bawah rintik-rintik.
Langit mendung tertawa nyeleneh,
Aku dengan respon paling murah ketika kamu hanya tersenyum.
Menyisakan ucapan tanpa suara di ujung gelisah,
Menenggelamkan sendumu,
bersandar dalam pundak yang sama letih.
Betapa aku tidak memohon untuk berdiri di sana,
Di sisi petirahan karena pun kamu sakit parah.
Kamulah, sisi cermin cekung yang mengecil
Kitalah gambaran afeksi paling menyedihkan.
Namun, kasih.
Jika kubiarkan hasta ini meraihmu tak kenal batas,
Sebelumnya kita sudah jadi abu bakar yang getas.
Jika kurestui jiwa ini memilikimu barang sebentar
Harus kurelakan kamu hilang dari sukma setelah itu.
Yang kusadar, ketika kita perlu mati untuk bisa hidup lagi,
Aku, kita, tidak lagi mampu bertoleransi atas kehilangan.
Ketika, para manusia sibuk belajar cara memanusiakan,
Aku, kita, cukup damai kala hanya mampu bernapas lega.
Monday, 20 April 2020
Dua Tahun Silam
Sementara aku menakar upaya mengatakan padamu,
Syair-syair aku simpan setiap hari dengan rima tidak jelas.
Kabar berita aku sampaikan tertulis,
tersegel tera tertentu kepada engkau,
pendurian dalam sanubari.
Kabar cerita aku lisankan dengan nalam,
dua tahun terakhir.
Surat untuk kau, terkasih, aku linting setiap lembarnya
yang kusimpan dalam bun tua, bun tembaga.
Cintamu aku kemas dalam pusaranya.
Salam.
Apa kabarnya rinduan rua yang menyusur
nestapa kisah dua manusia?
Bertahun-tahun memaknai karma
pada nirmala yang suci.
Aku menempatkanmu jejak
dalam takhta keemasan yang berpinar,
berpendar.
Aku letakkan pamrih paling besar untukmu,
bernyawalah dengan syahdu,
bahagialah tanpa sanda.
Sebab dari tiap gelak manismu,
aku cukup pilih tilam meski basah
alih-alih airmataku berurai dan rembes.
Cintaku juga kukemas bersama milikmu,
kulepas peri, aku baktikan hidupku dalam sedu pilu.
Geram tetap pada suratan yang tidak pernah mujur
Karena padamu tidak boleh aku gapai dengan jemari.
Aku ini, bentuk lain dari kedurjanaan alam semesta.
Siapa berani memaksaku tertawa?
Biar aku wakilkan kebencian pakai hati yang mendidih.
Pada takdir jahanam yang tidak pernah memihak kita.
Kali ini, dari pesisir pulau Rubiah yang biru.
Maafku mengingkari janji
Harusnya kau jangan pernah percaya,
Jika kujanjikan surai ini tetap berkibas lembut, wangi.
Jika kutetapkan karang sebagai nyawa yang keras dan indah.
Kendati aku lesap,
hanya kusapa ibu pertiwi dari ujung-ke ujung,
bentala paling mulia.
Aku kirim, padamu terkasih,
doa paling tulus meskipun terjarak ruang sela,
menangis dari sini.
Padamu, kasih, akulah ambang pelik yang menjadi
Kelopak yang tersisa dari gugurnya bunga edelweis.
Tidak hidup, pun mati.
Kala itu, aku tetapkan kisah kita jadi nyalar abadi.
Dari dataran paling tinggi, menyunyi dari suara-suara hati
Yang ingin merebut kembali.
Aku, tidak cukup cakap melakukannya.
Karena ketahuilah,
Dara kirana yang pada akhirnya datang,
Adalah rakitan doa-doaku tiap malam yang panjang.
Aku hanya titik koma dengan mental paling kecil.
Sibuk menantang garis hidup, mana?
Patah jadi perkara yang sudah biasa,
Rasa yang kerap pati dan aku tahu diri.
Menjura di bawah langit yang terluka parah.
Kami sama-sama menangis.
Ia menjerit dengan petirnya, aku tergugu dalam laraku.
Aku merebah diri pada, alam dan seisinya.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Aku pun, ikut menghitung hari. Menggeratak cara lain lagi bagaimana rela menjadi sekejap yang aku bisa. Seakan-akan di tepas kesakitan menu...
-
Apabila datang saatnya aku harus bersandar di atas kelopak mataku, berdiri di atas kakiku sendiri. dan pada akhirnya benar benar berdiri se...
-
Apa yang pertama kali kalian pikirin waktu ngeliat pict ini? Warnanya yang coklat dengan gradasi yang abstrak dan lapisan mengkilat begitu k...
-
Langkahku tercekat asa yang pupus di depan mata. Jauh di batas cakrawala kini matahari menepi. Meski pelan pelan, nyata bahwa malam semakin ...